Mie Ayam Mas Burhan

36 3 0
                                    

Mie ayam yuk, Lin! Aku yang traktirrr

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mie ayam yuk, Lin! Aku yang traktirrr

Begitu bunyi pesan singkat yang dikirim Utra pada Ralin. Lengkap beserta foto close up wajah Utra.
Ralin yang masih sibuk memberi makan kucingnya itu meletakkan ponselnya, mengabaikan pesan Utra. Setelah puas memperhatikan dua ekor kucing gendutnya sampai selesai makan, Ralin baru ingat kalau dia belum membalas ajakan Utra.

Mau ya Lin? Laperrr. Ibuku masak sayur asem sama empal, bosen.

Kamu udah kenyang?

Temenin makan aja deh ya. Boleh??

Nanti pulangnya aku beliin tahu pedesss

Aku beliin tigaaa

Ya? Yaa??

Pesan dari Utra menumpuk dalam jarak waktu empat menit. Ralin menjawab dengan singkat, 'yaudah ayo. Aku juga belum makan'

Tujuh menit kemudian, terdengar suara ketukan di pagar rumah Ralin, yang ia yakin pasti Utra.
Saat Ralin keluar rumah, Utra tampak menempelkan dagunya pada pagar rumah Ralin. Dengan helm bogo warna maroon, Utra tersenyum.

"Loh, ibu nggak di rumah?" Tanya Utra karena Ralin tidak kelihatan pamit kepada siapapun. Ralin belum menjawab pertanyaan itu, tapi Utra segera mendapatkan jawabannya  setelah melihat Ralin mengunci pintu rumahnya.

"Arisan di rumah Bu Aswin," jawab Ralin sambil membuka pagar rumahnya.

"Bawa helm buat aku nggak?" Tanya Ralin. Utra lantas menyerahkan helm bogo lainnya yang ia gantung di bawah jok pada Ralin.

Setelah terdengar bunyi 'klik' dari helm yang dikenakan Ralin,  Utra naik ke motornya. Diikuti Ralin yang duduk di belakang Utra. Mereka lalu berangkat ke warung mie ayam Mas Burhan yang tak jauh dari perumahan mereka. Iya, Utra tetap bawa helm untuk Ralin dan dirinya meski pergi ke tempat yang dekat. Kalau tidak, bisa-bisa Ralin malah ceramah dan nggak mau pergi.

***

Ralin cepat-cepat menduduki meja incarannya setelah pasangan muda mudi itu pergi. Ia menggeser botol saos dan mangkuk sambal ke hadapannya.

"Dua, mas. Pake ceker semua. Yang satu nggak pake bawang daun" kata Utra sedikit mengencangkan suaranya karena warung Mas Burhan nggak pernah sepi.

"Cekernya habis, tinggal kepala sama sayap."

Mendengar itu, keduanya langsung menghela nafas kecewa.

"Polosan aja deh," sahut Ralin.

Sambil menunggu mie ayam mereka disajikan, Ralin membuka layar kunci ponselnya.

"Kamu udah tau ini belum? Lumayan hadiahnya sepuluh juta," kata Ralin sambil menunjukkan poster lomba cover lagu ke Utra.

Utra yang sibuk merapikan rambutnya yang berantakan karena helm mengangguk.

"Itu yang ngadain senior di kampusku. Ngga enak kalo ikut. Kan kenal," jelas Utra lalu mengetuk-ngetuk jari jemarinya ke meja.

Dengan muka masam Ralin menjawab, "Pede banget. Emang pasti bakal kamu yang menang?"

"Dih? Ngeremehin?" Sanggah Utra. Keduanya lalu tertawa.

Setelah itu mie ayam mereka datang ke meja, diantar oleh mas Burhan tentunya.

"Mas.. mas.. padahal kesini pengen gadoin ceker," protes Utra seraya mengambil dua pasang sendok garpu dan membersihkannya dengan tisu. Sepasang untuknya, sepasang lainnya untuk Ralin.

"Salah sendiri nggak WA dulu. Biasanya kan nanya ada ceker atau nggak lewat WA" jawab mas Burhan straight to the point. Membuat Ralin dan Utra tertawa pahit.

"Makasiiih" kata Ralin setelah mas Burhan selesai menempatkan dua porsi mie ayam ke hadapan mereka masing-masing.

Ralin lalu menyendok sambal. Pada sendokan ketiga, Utra memukul pelan punggung tangan Ralin semata-mata agar gadis itu tak lupa diri bahwa perutnya sangat sensitif terhadap pedas. Setelah itu mas Burhan kembali ke meja mereka untuk mengantar dua gelas es teh manis. Kemudian mereka fokus menyantap mie ayam. Benar-benar tidak ada pembicaraan di antara mereka.

Seperti biasa, Utra lebih dulu selesai makan. Ia memandangi Ralin yang hendak melahap mie ayam terakhir di garpunya, tapi ingusnya menginterupsi minta dilap. Utra tertawa sambil menyerahkan selembar tisu yang baru ia tarik. "Gaya-gayaan sih ngambil sambel banyak," ucap Utra sambil menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajah Ralin dan hampir masuk ke mangkuk mie ayam.

"Pengen yang pedes pedes. Kayaknya besok mau mens" jawab Ralin lalu lanjut makan.

"Oh ya? Padahal besok pengen minta ditemenin beli senar gitar" kata Utra dengan nada kecewa.

"Bukannya biasanya beli online?" Tanya Ralin sebelum menyedot es teh manisnya.

Utra menggeleng, "kelamaan. Lusa mau dipake soalnya."
Ralin mengangguk mengerti. Kemudian Utra berdiri dan berjalan menuju gerobak mas Burhan untuk membayar. Setelah menerima kembalian, Utra memberi isyarat pada Ralin untuk pulang.

"Makasih neng," kata mas Burhan saat Ralin berjalan melewatinya. "Iya, mas. Sama-sama" balas Ralin sambil menunjukkan satu jempol.

***

"Ibumu suka kue keranjang, nggak?" Tanya Utra. Tapi dilihat dari kaca spion, sepertinya Ralin tidak dengar.

"Lin," kali ini Utra mengencangkan suaranya. Ralin baru merespon, "Apa?"

"Ibumu, suka kue keranjang atau enggak?" Ulangnya.

"Emang kenapa?"

"Kemaren dapet kiriman dari kak Grace pas imlek. Gatau juga kenapa aku dikirimi. Padahal aku bilang aku nggak ngerayain. Mana banyak, di rumah ga ada yang doyan," jelas Utra yang kini tengah diamati gerak bibirnya oleh Ralin lewat kaca spion.

"Trus mau kamu kasih ke aku gitu? Nanti kalo ditanya sama yang ngasih gimana? Ntar tersinggung kalo tau pemberiannya dikasih ke orang lain" kata Ralin mendekatkan wajahnya ke bahu kanan Utra, bermaksud agar ia mendengarnya dengan baik.

"Ya ngga bakal ditanyain juga kali, Lin. Jadinya mau, nggak? Kalo mau mampir ke rumah dulu nanti" tanya Utra sambil melihat pantulan wajah Ralin di spion. Kemudian Ralin mengangguk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 18, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PANTASKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang