Nada dari Lembah Kematian

12 2 0
                                    

A Science Fiction by; Fasya

◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇

Ini adalah satu dari sekian sejarah kelam yang pernah terjadi di alam semesta. Masa setelah penyeleksian populasi manusia melalui senjata nuklir berakhir, yakni saat alam yang semula bisu mulai mengajak perang dingin.

Flora terlalu letih untuk kembali tumbuh, fauna tak kuasa beradaptasi, udara terkontaminasi, persentase air meninggi, dan ozon mulai menghilangkan diri. Menipisnya atmosfer membuat hujan setajam panah dan meteor bebas ke sana kemari. Di tengah permasalahan ekonomi, marak pandemi yang terus berevolusi.

Dengan kemampuan teknologi, mereka yang beruntung dievakuasi ke planet Merah. Merobohkan keputusasaan dengan bahu-membahu membangun kehidupan lebih hijau dan modern di sana.

Malar beregenerasi hingga sebuah Warp Drive bukanlah fantasi belaka.

Itulah cikal bakal peradaban di planet Mars. Secara logika, seharusnya tidak ada lagi kehidupan di sana. Namun, sesuatu mengubah pandanganku dengan datangnya sinyal dari planet ke-tiga. Ya! Bagaimana mungkin tempat yang hanya menerima kematian itu masih memiliki nyawa di dalamnya? Bahkan terdengar berirama layaknya sebuah nyanyian.

“Sialan! Rover yang kukirimkan ke sana juga tidak menemukan satu pun petunjuk!” gumamku, “dipikir bagaimanapun, terlalu mustahil ada kehidupan di dunia yang hancur itu. Umat manusia juga telah meninggalkan Bumi sejak puluhan tahun lalu. Kalaupun ada, seharusnya tidak mampu bertahan hingga selama ini. Yang dihirup bukanlah O2 lagi, tapi NO.”

Aku memijat dahiku karena frustasi, juga karena sebuah asumsi konyol yang tiba-tiba terpikir, “Mungkinkah … jika sinyal ini berasal dari mereka, maka bisa dikatakan mereka memiliki teknologi yang cukup mumpuni. Apa mereka berhasil bertahan sampai sekarang karena bergantung dengan teknologi? Lantas kenapa mereka baru mengirim sinyal sekarang?” aku terdiam sesaat, “baiklah. Kita asumsikan demikian saja. Dari hasil penelitian, teknologi yang dipakai tak jauh berbeda dari peradaban Bumi dulu. Maknanya sinyal ini datang dari beberapa tahun yang lalu.”

Argh! Tapi kenapa aku merasa ada sesuatu yang mengganjal?! seruku dalam hati.

***

Beberapa hari setelahnya aku dikejutkan oleh sesuatu. Ya! Rover-ku menemukan sumber dari sinyal itu. Spontan aku segera menyiapkan segala peralatan dan kendaraan luar angkasa. Tak lupa mengaktifkan barrier agar tetap aman selama berada di lembah kematian—Bumi.

Dengan kecepatan yang menyamai cahaya, tak sampai dua detik untukku sampai ke planet tetangga. Saat menapak, atmosfer kematian menyambutku dengan suka cita. Aura kelam yang lebih pekat dari kegelapan itu sendiri. Semua yang kulihat rasanya seperti mengatakan, “Tidak ada harapan untuk hidup. Ini adalah neraka dan kematian adalah kunci dari surga.”

Langkahku terhenti pada sebuah  bunker yang sudah dimodifikasi. Dari pengamatanku, sepertinya cukup mampu untuk beradaptasi dengan kondisi saat ini.

Aku membuka sandi pintu dengan meretasnya, kemudian masuk ke dalam dan mencari Rover-ku. Naasnya, entah bagaimana koneksiku terputus dengan Penjelajah Antariksa milikku itu. Ujungnya aku seakan mengobservasi labirin tanpa petunjuk, hingga samar-samar bau busuk merangsang rasa penasaranku untuk mencari tahu lebih jauh.

Di sudut ruangan, aku dikejutkan oleh tiga mayat yang tergeletak. Satu di antaranya adalah anak kecil yang mulai terurai, tapi wajahnya masih bisa diidentifikasi. Sedangkan sisanya kerangka yang hampir lebur sepenuhnya. Mereka memiliki satu kesamaan; mengenakan masker gas dan armor yang bahan utamanya adalah  Graphene, sisanya material yang tidak aku ketahui. Aku rasa ini teknologi yang mereka gunakan untuk bertahan selama ini.

Aku kembali dikejutkan oleh kedatangan sebuah robot yang dilengkapi sistem AI tinggi. Ia lah yang mengirim sinyal ke Mars.

Segera aku mencari data dari robot itu dan menemukan sebuah rekaman video. Dengan ragu, aku menekan tombol on. Berdebar rasanya karena akan mengetahui sesuatu.

“Baiklah. Ini sudah dimulai, kan?” seorang anak kecil yang lusuh dengan tubuh ringkih mengawali rekaman hologram. Bercak darah turut serta mengotori pakaiannya.

“Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” Pikiranku kini beradu mengaitkan sosok mayat yang terbilang baru dengan gadis di video itu.

“Aku adalah Nada, manusia Bumi yang tersisa. Aku harap kamu mau mendengar sedikit cerita dengan seksama, karena AI ini akan hancur setelah mengirimkan sinyal … untuk terakhir kalinya.” Nada tersenyum pahit.

“Kerangka di belakang adalah orang tuaku. Sedangkan aku dibesarkan oleh robot—AI yang mereka ciptakan.” Anak itu menarik napas berulang-ulang. Seakan mencoba menenangkan diri dari kepedihan yang merodra.

“Dan aku tidak pernah menemukan seorang pun manusia disini. Namun, aku percaya! Pasti ada kehidupan di bagian Bumi lain!”

“Mana mungkin,” ujarku dengan tawa hambar. Walau sebenarnya dada ini mulai terasa sesak.

“Seperti yang kamu ketahui, karena kapasitas kendaraan luar angkasa yang terbatas, banyak manusia yang di tinggal di Bumi. Hanya orang-orang politikus, berpengaruh atau mereka yang menguasai bidang tertentu saja yang dibolehkan masuk. Kami yang dianggap sebagai rakyat jelata benar-benar diabaikan.

Sejak awal aku sudah sadar kalau kematian di planet ini adalah mutlak. Evolusi manusia tak mampu menyamai buruknya tempat ini. Kami kalah dan berakhir keracunan. Bahkan sebentar lagi aku akan menemui mereka semua.” Senyum terukir dengan indah di wajahnya. Bisa kubayangkan betapa rindu dan kesepiannya ia.

“Kami sudah mengirim sinyal berkali-kali ke Mars, tapi selalu saja ada sesuatu yang terus menampiknya,”

“Apa maksud dari semua itu? Apa ada hubungannya dengan kebakaran salah satu tempat organisasi besar yang terjadi waktu lalu?” tanyaku.

“Namun, kami tidak ingin dilupakan begitu saja! Kamu … bisakah kamu merekam ini semua? AI sudah terlalu tua. Sebentar lagi ia akan hancur,”

“Tentu. Bahkan sudah kulakukan sejak menginjakkan kaki disini,” balasku.

“Wah … kamu benar-benar melakukannya? Aku sangat berterima kasih. Kalaupun tidak, tolong dengarkan lah hingga selesai. Untuk itu, aku akan menyanyikan sebuah lagu. Aku harap ini bisa menjadi kenangan terakhir dari Bumi. Sehingga masa depan akan selalu mengingat kami yang tertinggal di sini.”

Perlahan hujan tercipta di mataku. Bersamaan dengan alunan melodi yang lembut, terputar foto dan video dari orang-orang yang pernah menghuni tempat ini, yang tentunya hanya tinggal raga semata.

“Aku harus menyebarkan ini setelah kembali ke Mars,” tekadku.

Ya! Dunia harus tahu perjuangan mereka yang sentiasa mengharapkan Surga di tanah Neraka. Meski pada akhirnya tak sempat jumpa hingga ajal menjemput mereka.

◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇

Andromeda Galaxy. 13, Februari 2022.

Cipta Karya AthTeraeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang