Kepada satu-satu yang berakhir
dirayap
yang hilang semua harap
kita akhirnya
lenyap.bersua
pada
s e n y a p .[1]
Dasarnya ketika beliau percaya pada artian kita muda selamanya telah lenyap, barangkali benar benar sudah hilang dari rumah yang disadarinya tidak beratap. Beruntungnya, Ryu masih hidup-bukan bernapas-di rumahnya yang tidak lain hanya sebatas kayu-kayu yang sudah dirayap.
Berangkatnya beliau keluar dari rumah dengan syal tua yang sudah basah, berkeliling di sekitar pasar, menemukan sepasang sandal agar tidak aus kakinya. Tetapi sandal itu benar-benar payah, sehingga disangkalah dirinya sebagai pencuri ulung yang putus asa (kalau bisa dibilang ia tidak berpenampilan indah; buktinya mandi saja tidak pernah). Berakhiran menjadi buron pasar, seperti hari-hari biasa. Sungguh ironi yang membuat Ryu muak hingga mual hingga mulutnya ingin muntah darah hingga pada saat penghakiman mereka membuat paru-paru sesak, terlampau mati rasa, dan berakhir selesai dengan ketidak puasan pada keadilan dan rumahnya yang benar-benar tidak menyenangkan untuk diratap.
Mungkin itu sebabnya beliau pulang dengan muka yang sudah lebam sana-sini. Dan menyambut si Adik dengan senyumannya yang terpaksa diukir.
Hari ini Ryu tidak makan. Begitu pula adiknya yang hanya bisa mengandalkan air agar tidak berkerut tenggorokannya. Sebenarnya makan tidak makan juga sama saja, toh akhirnya mereka akan muntah dengan bangga hingga asam lambungnya keluar dengan puas.
Tapi Ryu harus membuat adiknya makan. Karena Ryu masih sayang, juga umur adiknya masih enam. Ryu tidak pernah menyangka kalau adiknya akan tinggal dengan dirinya yang selalu berakhiran payah hingga tidak mampu menahan amarah dan memukul orang orang biadab yang selalu menagih hutang bapak di rumah.
Persetan semua orang, Ryu benci akut pada manusia yang gilanya tidak terbatas.
Kalau ada Tuhan, Ryu bertanya apa kebahagiaan itu benar-benar ada? Tapi kenapa kita masih hidup luar biasa sengsara hingga habis akal sehatnya dan mati pun opsi yang paling benar? Apa itu yang dimaksud hidup indah? Semua pemikiran diluar otaknya membuat Ryu semakin pucat dan berpikir kalau menggantung badan lebih tepat, namun pemikiran pembantah karena sang adik tidak mungkin dibiarkan seperti tidak lebih dari manusia bernyawa tanpa rasa kehidupan. tidak. Ryu harus selamat. harus hidup bukan hanya untuk adiknya. Sebab ia masih hidup-dihidupi oleh Tuhan-atau oleh dirinya yang lebih malang.
Hari ini udara benar-benar panas padahal malam sudah menggantung dan mengeluarkan bulan beserta bintang para anteknya yang memenuhi atap rumah yang tidak ada ditempatnya. Nina bobo jadi penenang malam yang tidak pernah lebih dari senyap, tapi adiknya tidak tidur dalam sekejap mata namun bertanya sedikit mengucap sesal dalam kalimat patah seorang bocah yang berumur enam. "Kenapa kita tidak pernah mengecap hidup yang benar, ya, kak?"
Sungguh? Itu pertanyaan yang membuat dirinya semakin dilindas oleh pikirannya yang sudah melonglong hampa. pada akhirnya Ryu menjawab tidak lebih dari sesalnya sang adik yang matanya sudah lelah; tak berpenghuni kehidupan di sana. "Hidup untuk hidup, dihidupi karena belum mati. Adik tau kalau kita ini manusia walau agak sinting?" tanyanya dengan jeda sembari menatap sang adik. "Eksistensi kita terlalu sedih, ya, dik? Untungnya aku punya kamu dengan rayap-rayap di sini."
Lantas senyum sang adik menjadi pembawa tenang, dan sepi tidaklah seburuk yang Ryu kira. Karena walau tidak ada atap-atau panasnya yang membakar siang malam-dirinya masih punya sang adik yang sedia berusaha mengucap satu dua kalimat patah-patah-yang terlampau patah-dengan separuh kesintingan mereka.
Mereka berada di rumah yang berpulang pada Tuhan pun masih enggan. Lantas kenapa bertahan demi satu-satu batang tulang yang terus-
dirayap? []
KAMU SEDANG MEMBACA
Rayap-Enyak-Senyap.
RandomAlas kakinya sudah amblas, barangkali karena adiknya yang merayap di balik calar punggungnya yang tidak berdaya. Atau mungkin dirinya tahu kalau esok yang di nanti di sini akan senyap. 010322