dua

15 4 1
                                    

Tapi masa bodoh pada kehidupan, Ryu angkat adiknya di pundak yang sudah bercalar enam—yang berdarah setiap kali terbuka—dan berjalan melewati pasar sekarang.

Orang orang menatap penuh jijik bagai serangga seperti rayap di rumah mereka atau sampah masyarakat yang tidak lebih hanya mengotori dunia sebagai pemakaman nantinya. Dan kalau boleh berkata jujur, Ryu juga malas untuk melihatnya menjadi malang semalang-malangnya rusa yang diburu singa atau babi yang diburu karena para manusia harus makan.

Telapak kakinya bagai telapak kaki kuda yang diberi tapal, sebab Ryu tidak merasa sakit pada kaki-kakinya yang tergerus tanah, bahkan pada saat ini suasananya sedingin malam dan bisa ia tebak kalau malam ini akan hujan atau menurunkan badai es dari awan sementara dirinya tidak bisa mengandalkan dukun pengusir hujan atau menari meminta katak agar itu semua tidak datang sekarang. Tidak. Nyatanya itu benar datang pada malam malam berikutnya.

Sang adik betanjak memasuki umur barunya yang ke delapan sementara Ryu bertambah menjadi sepuluh dan selama satu tahun itu dirinya tidak dapatkantidur yang layak maupun makanan yang setidaknya membuat usus dan lambung tidak ditambal oleh alat kedokteran atau luka luka di dalamnya.

Ryu masih hidup dan adiknya juga begitu.

Namun sang adik setiap hari berada di gendongan Ryu, semakin keriput padahal umurnya masih delapan pada saat itu. Ryu tidak pernah benci, bahkan sedikit pun. Karena rayap-rayap itu tidak mengganggu dirinya lagi, bahkan untuk rumah yang sudah habis.

Tuhan memang benar ada, tapi kebahagiaan itu pilih kasih pada manusia yang ingin hidup hingga akhir. Ryu tidak memilih, sebab Ryu juga tidak sedih. Membawa sang adik di atas gendongan bercalar, juga luka nya yang di enyak membuat dirinya sadar kalau hari ini adalah hujan salju pertama.

Paru parunya lebih sempit dari biasanya. Hidungnya kembamg kempis mencari udara yang menyesakkan dada, tubuhnya gemetar kencang sementara suaranya parau tidak keluar dan rayap rayap itu—yang tidak Ryu sangka datang—menggerotgoti tubuh sang adik yang semakin keriput. Barangkali juga, sudah direnggut kehidupannya jadi semuanya benar benar hilang buat Ryu yang semakin malang.

Hari ini juga, Ryu sadar kalau dirinya masih hidup. Di langit sana hujan es yang turun berwarna merah karena hidungnya berdarah tidak karuan dan calarnya mengenai dinginnya es yang membuatnya mati rasa. Sementara itu adiknya sudah terkapar entah ke mana, dan Ryu berakhir sendirian menatap kesepian yang menghinggap di atas kepalanya yang tidak berpikir akan melakukan apa pun selain berucap, "Bagaimana kalau aku mati saja?"

Dan Ryu masih hidup—dihidupi oleh Tuhan—atau barangkali mati dengan kemalangannya. Berakhiran lenyap, semua yang Ryu lihat jadi gelap dan telinganya berdengung membuat akhir dari hidupnya senyap. []

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rayap-Enyak-Senyap.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang