O1 ; Pembelajaran Tatap Muka

17 4 0
                                    

Satu, dua, tiga. Lelaki itu terus menghitung kala ia mengayuh sepeda dengan sepatu hitamnya. Mulutnya terus mengucapkan satu, dua dan tiga secara berurutan.

"I miss you more than life.."

"I miss you more than life.."

Lirik lagu itu terus terdengar di telinganya sejak tadi pagi, saat ingin berangkat ke sekolah.

"Haduh," Ia menghela napas dan menatap ke arah gerbang sekolahnya, banyak kendaraan yang keluar masuk. Aubin tak bisa menahan rasa malunya. Padahal ia sama sekali belum bertemu siapapun di hari itu.

Hanya ada grogi, malu dan panik. Sebelumnya ia sangat bersemangat berangkat ke sekolah. Namun niatnya mungkin sudah pudar duluan ketika sampai di sekolah.

"Moza katanya mau di deket gerbang, anying!" Ucapnya dengan kesal karena temannya tak ada di depan. Namun setelahnya ia beristigfar karena telah mengucapkan kata kasar.

Roda sepeda miliknya kini sudah sampai di tempat parkir yang berada di bawah kantin. Sepanjang perjalanan ia menunduk, tak tahu ingin bereaksi seperti apa.

Aubin menempatkan sepeda kesayangannya dengan posisi sempurna. Kemudian, laki-laki bertubuh tinggi itu berjalan menuju kelasnya yang berada di atas.

Dalam beberapa detik, ia menyempatkan untuk membenarkan masker hijaunya. Ia terlalu mengkhawatirkan penampilannya tanpa menyadari bahwa sedari tadi banyak gadis yang menatapnya dengan kagum.

Aubin menaiki tangga dengan menunduk dan mempercepat langkahnya menuju kelas. Tangannya sudah siap memukul Moza yang ia kira berada di depan gerbang, padahal tidak.

Matanya menatap lurus ke depan. Mencari letak kelasnya, 8D. Sesekali Aubin menoleh ke kanan, dimana ia bisa melihat lapangan sekolah dari tempat dimana dia berdiri saat itu.

"Wah, kok banyak cewek," Batinnya dalam hati. Aubin begitu banyak berpikir hingga membuat dirinya sendiri ketakutan.

Pada saat ia berjalan, banyak kakak kelasnya yang membicarakan dirinya. Salah satu dari mereka membicarakan keindahan mata yang dimiliki Aubin. Ada juga yang mengatakan bahwa Aubin sangat tampan. Ia sadar akan ucapan orang-orang tentangnya, namun ia berusaha bersikap tak peduli.

Karena memang menurutnya tidak ada yang perlu diperhatikan.

Akhirnya, ia menemukan letak kelasnya yang berada di antara 8C dan 8E. Mudah saja menemukannya, tetapi bagi Aubin sendiri, itu sangat rumit.

Entah dia yang mempersulit keadaan atau dirinya yang belum menyesuaikan di lingkungannya yang baru.

Aubin memang sudah kelas 8, namun ini kali pertama ia memasuki sekolahnya. Selain dirinya yang memiliki sifat tertutup, ia juga tak begitu memperhatikan pelajarannya. Sejak kelas tujuh, ia lebih fokus pada permainan gamenya.

"Weh, lord gay dateng," Sapa laki-laki di pojok dengan memegang ponselnya terbalik. Orang itu tengah memainkan game favoritnya dengan sekumpulan temannya.

"Katanya mau tunggu di gerbang, cuk!"

Aubin berani berbicara dengan keras karena suasana kelasnya masih cukup sepi saat itu karena jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh.

Moza menjawab pertanyaan Aubin dengan mata yang masih fokus pada permainannya, "Lah lu lama banget datengnya, bego!"

Aubin melirik sinis hingga akhirnya ia ikut bermain dengan Moza setelah meletakkan tas hitamnya pada barisan kedua.

Tak sekali dua kali mereka mengucapkan kata yang seharusnya tak boleh diucapkan. Beberapa kali juga Aubin beristigfar guna menghapus dosa dalam ucapannya. Bahkan Aubin menerima cipratan ludah Moza karena mulutnya yang lebar. Dalam hal ini, Moza lebih aktif berbicara dibandingkan dengan Aubin.

LAST WISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang