O2 ; Fremilt

8 4 2
                                    

"Dibilangin juga apa, gak usah lewat tangganya kakak kelas."

"Eh, tapi itu kakaknya tadi cantik, lho,"

Aubin benar-benar tidak habis pikir dengan Moza. Yang temannya pikirkan hanyalah seorang gadis.

Pantas saja jika dalam percintaan, hubungannya selalu kandas. Hal itu karena Moza selalu melirik gadis lain.

"Gak peduli."

Laki-laki berkacamata itu menghela napas panjang. Ia tak pernah lelah untuk meminta Aubin supaya lebih terbuka walau hanya sedikit.

Hasilnya sama saja, karena Aubin tetap tak ingin membuka dirinya kepada gadis manapun.

"Lu kalo gini terus, siapa yang mau deketin, cuk?"

Aubin melirik Moza sinis sembari berjalan ke kursinya, "Kita masih sekolah, anying. Waktunya belajar, bukan malah nyari cewek!"

"Emang lu pernah belajar?"

"Gak."

"Tolol!"

Mereka berdua kembali ke tempat duduk masing-masing setelah saling bercanda tawa. Aubin berada di baris kedua dan Moza berada di baris ketiga. Tempat duduk mereka diatur sesuai urut absen.

"Ya gue aslinya mau terbuka sama cewek, Za. Ngomong doang mah gampang, tapi kalo gue ngelakuin beneran, rasanya susah banget. Gue sendiri juga gak tau kenapa."

Perasaan Aubin campur aduk. Hatinya mengatakan dirinya harus mencoba terbuka pada orang lain, terutama pada perempuan. Namun otaknya tak terima akan hal itu, pikirannya mengatakan dia akan hancur dan kehilangan sesosok dirinya sendiri.

Haruskah ia mengikuti kata otaknya atau kata hatinya?

Entahlah, orang itu begitu dilema.

[ Lorong 8D, 11.20 ]

Gerombolan Aubin tengah berjalan keluar kelas. Gerombolan beranggotakan 6 orang itu tampak senang karena jadwal pulang sudah menghampiri mereka.

"Buset, cuk. Hari pertama PTM aja langsung jadi remaja jompo."

Lelaki berjaket hitam itu mengeluh. Wajahnya terlihat lelah sekaligus kesal.

"Baru hari pertama lho, Zam," Jawab Abi yang tak terima dengan pernyataan Nizam. Abi dari awal memang sangat bersemangat dan wajahnya masih terlihat fresh sejak tadi pagi.

"Lu kan pinter," Nizam memutar bola matanya malas. Ia melihat ponselnya dan membalas chat dari temannya sembari melanjutkan kalimatnya.

"Tapi kalo masalah cewek mah Bijar kagak pinter."

Satu gerombolan itu menertawakan Abi. Abi sudah biasa seperti ini, dibully teman satu gengnya. Saat seperti itupun Abi tetap sabar dengan perlakuan temannya.

"Aku gak pinter ambil hati cewek, kalo aku ambil nanti dia meninggal, dong?"

"Ya nggak gitu juga, Jaaaaar!" Semua temannya berteriak dengan bersamaan yang membuat Abi tertawa. Gerombolan itu kembali berjalan menuju gerbang sekolah.

Nizam fokus pada ponselnya. Kemudian, laki-laki itu merogoh sak jaketnya dan menggenggam uang dua puluh ribu. Ia memperhatikan uangnya.

"Ngapain ngeliatin uang?" Tanya Moza yang berada di belakangnya bersama Aubin.

"Pengen jajan tapi gak dibolehin sekolah, jingan!"

Aubin menoleh ke sekitar. Ia sedang memperhatikan keadaan. Dia merasa aman.

Bukan karena perempuan, tapi Aubin takut seseorang akan mendengar ucapan kasar Nizam. Jika masuk ke ruang BK, bukankah itu akan merepotkan dia juga?

"Anying, jangan keras-keras ngomongnya, cuk!" Tegur Aubin yang sudah panik duluan.

LAST WISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang