Jalan terasa lengang sore ini. Saat saya melangkah ke taman yang Bram janjikan, kabut sore enggan merubah warna sebab walau tipis menembus, kabut masih belum bisa melepas rindu karena seharian hujan. Sayang rasanya untuk cepat meninggalkan semua, saya letakkan tas ransel lalu mencari minuman hangat yang sejak tadi sudah ingin saya nikmati. Kemana Bram, kenapa belum datang?
Kami berjanji untuk bertemu dan saya terlambat sedikit dari janji untuk bertemu dengannya di sini.
"Pukul 15.00 WIB di taman biasa, kutunggu di sana," ucap Bram dari ponselnya.
Saya memegang tumbler kesayangan, kuhirup perlahan susu cokelat hangat. Bram tiba-tiba datang dan duduk di samping.
"Kamu telat Ren." Bram menegur lembut. Tentu saja saya kaget lalu meminta maaf kepadanya. Seperti biasa Bram hanya tersenyum mengusap rambut dengan kasih sayang yang selalu dia ungkapkan.
"Ren, kamu lihat daun di tengah kolam itu kan? hujan rintik - rintik sejak lepas malam sampai siang ini, sekarang udara terasa dingin. Kamu lihat Ren, air embun seakan enggan memisahkan diri dari pelukan daun teratai itu."
"Apa Bram, yang mana sih?" Saya penasaran mencari daun teratai yang dimaksud.
Bram tersenyum tipis kemudian berdiri.
Dia segera menarik tangan saya untuk mendekat kolam dan menunjuk ke arah daun teratai yang dimaksud, "Ituuu Ren," sambil memeluk pundak saya, merasakan kegalauan Bram dan dirinya, lalu Bram bertanya, "Apa kamu siap jika nanti kita terpisah?"
"Kamu kenapa sih Bram? Langsung aja deh kalo mau ngomong."
Raut muka Bram berubah datar dan hening terjadi sesaat.
"Ren, jika karena kesibukan, suatu saat nanti kita menjadi jauh, apa kamu bisa bertahan untuk menungguku? Bukan apa-apa juga sih, tapi kalau suatu saat aku salah menanggapi arah pikiran saat terjadi masalah, apa kamu bisa mengerti diriku?"
Saya terdiam menanggapi perkataan Bram.
Bram menatap saya dan meraih kedua tangan sambil tersenyum tipis, "Maaf ya Ren, kalau kamu ngga suka, tidak perlu dijawab. Mungkin ini hanya kekhawatiranku saja." Kata Bram.
Bram mengatakan jika akan berangkat menggunakan pesawat pukul 22.00 WIB malam ini.
Saya terdiam, menganggapi ucapan Bram seperti angin lalu. "Boleh kupeluk sebentar?" tersentak dari kebingungan dan saya kikuk merasakan pelukan Bram yang hangat dan terasa berat untuk melepas semuanya.
"Boleh saya mengantarmu Bram?' saya merajuk.
"Tidak usah Ren, santai saja. Nanti ketika saya pergi, kamu pulang sama siapa ?" jawabnya pelan meminta segala pengertian saya untuk mengurungkan niat baiknya.
Bram menjawab sambil mengelus kepala Kiren perlahan, semakin dia kuatkan pelukannya seakan berat melepas. "Jaga dirimu baik-baik Ren, aku pergi ga lama kok!" Bram memeluk saya dengan kuat seakan tidak ingin melepasnya.
Akhirnya kami berdua menikmati sore yang masih menyisakan mendung untuk menonton film kesukaan. Seperti biasa berdebat dengan jagoan pemain masing-masing. Kami suka film komedi romantis berjudul 'Single' garapan Raditya Dika. Bram yang sangat suka gaya Radit dan saya lebih memilih Babe Cabita dengan segala humor segar dan kelucuan yang dia sampaikan sehingga mengocok perut penonton. Selesai menonton saya mengajak Bram untuk pulang karena dia harus mengemas semua barang- barang keperluan kuliah. Bram mengambil Fakultas Ekonomi di Jogja, sedangkan saya memperoleh pendidikan Kedokteran di Jakarta, itu sebabnya kami harus berpisah.
"Bram, kamu serius berangkat malam ini?" Saya bertanya.
"Yups," cepat Bram menjawab.
Sambil memegang erat tangan saya, dia tersenyum. Saya tidak dapat mengatakan apapun lagi karena semua akan terjadi malam ini. Kami akan terpisah oleh jarak, berat rasanya belum lagi sebuah keraguan terselip rapat di hati saya karena kedua orang tua Bram tidak setuju dengan hubungan apalagi keadaan saya yang berasal dari keluarga biasa saja. Namun Bram tidak memperdulikan ucapan mamanya, malah semakin dekat dan selalu memperlakukan saya seperti seorang putri. Entahlah, semoga suatu saat orangtua Bram bisa menerima saya walau ini tidak akan mungkin terjadi.
Bram mengantar saya pulang dan berpamitan dengan ibu dan bapak.
"Om dan tante, Bram pamit dulu ya... Sudah mulai malam dan Bram harus siap-siap untuk berangkat." Bram berpamitan kepada orangtua Kiren.
"Iya, Bram. Hati-hati dijalan ya, semoga selamat sampai tujuan, jangan lupa memberi kabar." ibu menjawab dan memberi sedikit wejangan. Saya mengambil handbag yang sudah saya persiapkan untuk Bram di sana, lalu segera menyelipkan ke genggaman tangannya, "Untukmu supaya selalu ingat saya, sebuah syall untuk menghangatkan tubuhmu kalau kedinginan." sambil berbisik. Bram tersenyum
"Baik tante dan om. Bram akan ingat semua pesan. Izinkan Bram pulang sekarang, selamat malam om dan tante, Bram pamit." Bram menatap saya dengan hati sedih seakan enggan melepasnya malam ini.
"Ya nak Bram, hati-hati di jalan ya." Ibu melepas kepergian Bram dengan senyum yang ramah. Bram menyalakan mobil dan meninggalkan orang-orang yang selama ini dia hormati. Bram pergi untuk kembali merajut kebahagian bersama Kiren nantinya.
Terasa ada yang hilang, dada saya terasa sakit melihat kepergiannya dan saya tatap Bram menghilang bersama gelapnya malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Kiren
RomanceSeorang pemuda yang tengah berjuang untuk cita-cita yang akan dipersembahkan untuk kekasihnya. Namun menghadapi suatu kenyataan bahwa cinta tidak selamanya memiliki.