CHAPTER 1

30 3 1
                                    




Athaya menutup pintu mobilnya lunglai tidak bertenaga. Hari ini adalah hari yang Athaya takutkan. Namun, di dalam benaknya Athaya sudah tahu hal ini akan terjadi dalam waktu dekat. Kepalanya menunduk kecewa, mesin mobil civic putihnya sama sekali belum ia hidupkan. Pikirannya melalang buana entah kemana. Tatapannya jelas kosong sebelum akhirnya ia menyandarkan punggungnya ke kursi kemudi. Pertemuannya kali ini dengan Ghaksa Gautama beberapa menit lalu yang kini menyandang status sebagai mantan seorang Athaya Sadhira mungkin pertemuan terburuk yang pernah Athaya punya. Tapi Athaya tidak menyesal, mungkin nanti.

"Gue rasa lo udah tau maksud tujuan gue apa tanpa gue harus jelasin." Ucapan lelaki itu terngiang di benak Athaya. "Let's break up." Sambung Ghaksa. Dua kalimat yang bisa membuat Athaya mengacak rambutnya saat ini.

Tangan mungilnya mulai menyalakan mesin mobil. Sebenarnya Athaya tidak tahu akan kemana, sudah pasti bukan ke rumah tujuannya. Ia mulai menarik rem tangan dan menginjak pedal gasnya sedikit demi sedikit berharap ia akan berlabuh ke suatu tempat. Lagu dari Olivia Rodrigo menggema di dalam mobil selama lima belas menit dan Athaya hanya mengulang lagu Traitor. Sesak dadanya ia kulum begitu saja tanpa tahu harus bagaimana mengeluarkannya. Athaya pernah jatuh berkali-kali, tapi untuk jatuh yang kali ini ia sama sekali tak memiliki penopang. Satupun.

Pukul sembilan lewat dua puluh menit, dua jam sudah Athaya hanya mengitari Jakarta tanpa tujuan. Matanya memerah tapi belum ada tetesan yang keluar dari sana. Athaya hanya tidak tahu bagaimana caranya.

Pandangannya tertuju kepada salah satu café bernuansa warm white yang menarik minat. Ia putar kemudinya menuju café tersebut tanpa harus berpikir dua kali. Mungkin untuk menutup harinya yang menyedihkan ini, ia butuh sesuatu yang manis. Café tersebut tidak menyisakan pelanggan satupun di dalamnya. Sepi sekali tapi tidak membuat Athaya mundur untuk menemui matcha lattenya. Pandangan Athaya menyorot seisi ruangan, ia hanya melihat seorang laki-laki di dekat kasir berapron putih sedang membersihkan mesin pembuat kopi.

Merasa ada seseorang di dekatnya, Atvara mendongakkan kepalanya sekedar memastikan. Tangannya menaruh kain lap yang digunakan untuk membersihkan peralatan. "Selamat malam, mau pesan apa?" Template kalimat yang selalu Atvara ucapkan ketika pelanggan datang.

Jujur saja di dalam benak Atvara sebenarnya ia setengah yakin perempuan di hadapannya manusia atau bukan, karena bukan maksud apa-apa tapi kalau ada orang lain yang melihat perempuan ini mungkin saja disebut perempuan yang malang dan menyedihkan tak bernyawa.

Tak kunjung mendapatkan jawaban dari perempuan yang menatapnya kosong dengan wajah yang pucat pasi itu, Atvara melambaikan tangannya beberapa kali tepat di depan wajahnya. Athaya mengerjapkan matanya berkali-kali, ia lupa ia sedang berada di café. Nyawanya sudah dua puluh lima persen saja."Gimana?" Tanya Athaya benar-benar tidak mendengar ucapan barista di depannya.

"Mau pesan apa?"

Tanpa menoleh menu Athaya yakin dengan pesanannya."Hot matcha lattenya satu take away." Jawab Athaya.

Atvara mulai mencatat pesanan tersebut ke dalam layar besar di hadapannya."Ukuran gelasnya apa?" tanyanya lagi."Tall." Tanpa pikir panjang Athaya menjawabnya.

Tangan Atvara mengambil gelas sesuai pesanan Athaya."Atas nama siapa kak?" Kembali ia bertanya.

"Athaya."

"Sorry?"

"Aya aja."

Tangan Atvara menulis nama perempuan tersebut pada gelas dan mulai membuat pesanannya. Tidak membutuhkan waktu lama untuk Atvara menyelesaikannya. Ia menyerahkan segelas hot matcha latte ke hadapan Athaya. "Totalnya empat puluh dua ribu. Ada tambahan lagi?" Atvara menatap perempuan itu. Benar-benar berantakan dan tidak ada tanda-tanda kehidupan, batin Atvara.

Athaya menggeleng cepat dan mengeluarkan selembar uang kertas berwarna biru dari dompetnya. Tangannya menggenggam hangat minuman kesukaannya setelah menerima kembalian. Hanya punggung perempuan itu yang Atvara tahu namanya ternyata Aya kini sudah keluar dari lingkungan cafenya.

Kembali lagi raga Athaya ke dalam mobil. Tangannya mengusap-usap pinggiran gelas matcha lattenya yang hangat tanpa niat meminumnya. Harusnya Athaya tidak memesan matcha latte karena jelas minuman ini mengingatkannya dengan Ghaksa. Membisu tanpa suara, Athaya juga bingung mau mengutarakan isi hatinya bagaimana karena jujur ia sendiri juga bingung. Sesak kembali memenuhi dadanya, kali ini benar-benar meluap begitu saja. Entah bagaimana bisa air matanya menetes begitu saja tanpa Athaya tahu. Athaya teringat kalau ia tidak punya rumah lagi yang menyapanya pulang. Tangisnya semakin menjadi-jadi kala teringat dengan Ghaksa. Lelaki itu menyakitkan, namun tanpanya Athaya rasa lebih menyakitkan. Ia belum siap seratus persen. Tangannya yang gemetar masih berusaha mengusap wajahnya. Tumpah ruah kesedihannya ia benar keluarkan saat ini juga tanpa bicara dengan siapapun.

Detik berikutnya Athaya menghentikan tangisnya sejenak karena beberapa kali ketukan dari kaca mobil mengganggunya. Athaya menurunkan sedikit kaca mobilnya. Buru-buru ia merapikan rambutnya yang berantakan.

"Are you okay?" Tanya seseorang di luar sana, sedikit membungkuk untuk mensejajarkan pandangannya. Athaya cukup kaget untuk merespon apa, mas barista yang ia temui beberapa menit yang lalu kini ada di hadapannya. Iris matanya yang cokelat masih bisa Athaya lihat walau minim penerangan. "Halo? Masih hidup kan?" tanyanya lagi.

Kembali fokus Athaya terhadap lelaki yang kini berbicara padanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali."Okay, gapapa." Sahut Athaya cepat. "Lo ngapain nyamperin gue kesini?" Kali ini Athaya yang bertanya.

Rambut cokelat Atvara terkibas oleh angin dan senyuman smirk muncul semakin membuat Athaya kesal."Tuh dari sana gue liat." Atvara menunjuk ke arah kaca cafenya yang berhadapan langsung dengan mobil Athaya."Nangis lo jelek, merusak pemandangan gue aja." Tambahnya.

Hanya lirikan sebal yang bisa Athaya tunjukkan. Benar-benar first impression yang buruk. "Udah gitu aja? Lo kesini cuma mau ngatain gue doang, kan?" Sahut Athaya kesal, "Thanks." Sambungnya sembari menaikkan kaca jendela namun dihalang oleh Atvara."Gue belum selesai ngomong."

Dengan berat hati Athaya memberikan toleran pada lelaki itu sehingga menurunkan kaca mobilnya kembali. "Kenapa lagi?" rutuk Athaya kesal. Atvara memberikan kain berwarna hitam yang terlipat. "Ini buat lo, ingus lo kemana-mana gue lihat." Kata Atvara tanpa sesal dan tidak menunggu respon Athaya, ia berlalu kembali masuk ke dalam cafenya yang akan segera ia tutup. Tangan mungil Athaya menggenggam saputangan tersebut, ada inisial A berwarna emas di pinggir kanan saputangan tersebut. Cantik sekali, sayang untuk dipakai batinnya.





#
Aku nulis lagi huhuhu, maaf ya kalau belum bagus. Aku udah lupa caranya menaruh hati pada tulisan. Setelah 5/6 tahun lamanya aku akhirnya berani nulis lagi. Semoga suka, ya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Thru These TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang