Prolog

59 5 0
                                    

Rumah.

Katanya rumah adalah tempat yang akan selalu menerima kehadiranmu, apapun keadaanmu dan sesulit apapun hal yang kamu lalui di luar sana.

Keluarga.

Katanya merekalah orang yang akan selalu menjadi pendukung setiamu, membelamu dari segala hal yang menyulitkan hidupmu. Katanya, keluargalah yang akan melindungimu dari segala hal yang mampu menghancurkanmu.

Sayangnya, kedua hal itu adalah salah. Rumah dan juga keluarga. Mungkin bagi mereka yang beruntung, mereka akan menemukan rumah dan keluarga yang tepat. Namun tidak bagi Meta, wanita dengan bola mata kecokelatan itu hidup dalam keluarga yang penuh tuntutan soal kesempurnaan. Sedikit saja kesalahan yang kamu buat, bukan pembelaan yang kamu dapatkan... melainkan sebuah caci maki. Entah kesalahan itu memang kesalahanmu atau kesalahan orang lain yang melibatkan dirimu. Bagi mereka, kesalahan sekecil apapun tak akan termaafkan. Apalagi sampai menghancurkan nama baik keluarga.

...................

Gadis yang baru berusia sembilan belas tahun itu terlihat linglung, keluar dari gedung kemahasiswaan yang biasa digunakan untuk kegiatan mahasiswa di luar akademik. Hujan deras di luar sana pun tak ia pedulikan, ia hanya ingin segera pergi dari sana dan mencari tempat perlindungan.

Kaki tanpa alasnya itu terus berjalan menyusuri jalan raya, dengan kendaraan yang terus berlalu lalang di sekitarnya, gadis itu tetap melangkahkan kakinya. Melewati genangan, genangan kotor yang mungkin akan membuat kakinya gatal. Sayangnya semua itu tak ia pedulikan.

Ketika langit sudah gelap, ia melihat rumah besar berwarna biru muda itu menyambut kehadirannya.

Ya, rumahnya.

Jangan bayangkan sambutan hangat keluarga akan ada di dalam sana, yang ada hanya kesunyian dan sepi. Karena kedua orang tuanya sibuk bekerja, mencari pundi- pundi rupiah yang terus menggunung di dalam buku tabungan mereka.

Gadis bernama Meta itu pun langsung masuk ke dalam kamarnya yang gelap, membaringkan raganya yang lelah dan sakit di atas ranjang empuknya. Lalu, menangis di sana. Ia menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, tanpa memperdulikan ranjangnya yang mungkin akan basah karenanya. Ia hanya butuh tempat berlindung, tempat yang tidak akan ia dapatkan dari kedua orang tuanya.

.......................

Pesta pernikahan itu baru saja usai, kedua mempelai pengantin terlihat sangat bahagia. Senyuman terus terpancar di wajah keduanya, ketika mereka akhirnya sadar... jika cinta mereka berlabuh di tempat yang tepat.

Siapa yang tidak bahagia jika menikah dengan orang yang kita cintai dan mencintai kita? Semua pasti bahagia. Rasanya sangat sempurna sampai kebahagiaan itu tak bisa dideskripsikan.

" Akhirnya ya, kalian bisa nikah juga setelah tiga tahun pacaran," ucap Rene—salah satu rekan satu profesi Lintang di sebuah rumah sakit swasta.

" Ya, beginilah. Namanya mau nyelesain pendidikan dulu, untung dia mau menunggu," ucap Lintang seraya melingkarkan lengan di pinggul wanita yang telah menjadi istrinya sekarang.

" Ya, udah cinta sih. Jadi mau nggak mau ditunggu," ucap Arsilla—wanita pemilik senyum yang manis dan mampu menaklukkan pria sedingin Lintang.

" Pokoknya kalian harus selalu bahagia ya. Kalo Lintang sok sibuk, kabarin aku aja... biar aku lihat dia di rumah sakit beneran sibuk apa sok sibuk doang," gurau Rene.

" Iya iya. Makasih ya." Arsilla kembali tersenyum manis melihat keramahan rekan kerja suaminya.

Mereka berdua pun sibuk menyambut tamu- tamu yang datang dan seakan tak ada habisnya. Bukannya merasa lelah, mereka justru sangat bersemangat. Seolah tenaga mereka pun sama tak ada habisnya. Ya, bahagia memang seperti itu. Kebahagiaan cenderung menjadi sumber tenaga tersendiri bagi yang merasakannya.

Metafora CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang