1- Aib Keluarga

19 4 0
                                    

Jangan lupa komen dan votenya ya. Oh iya kalau ada yg mau baca cerita lengkap aku yg lain bisa mampir ke aplikasi ungu ya dengan nama pena yang sama :)

****

Seorang anak tak pernah bisa memilih dari orang tua mana mereka dilahirkan, pun mereka tak pernah meminta untuk dilahirkan di dunia ini. Namun orang tua sering kali menyalahkan anak hanya karena kesalahan yang mereka perbuat, tanpa mendalami asas sebab dan akibat yang terjadi. Mereka hanya terus mengatakan, " kamu yang salah, kamu sudah mencoreng nama keluarga."

......................

Sudah tiga hari ini Meta memilih terus mengurung diri di dalam kamarnya. Ia hanya keluar sebentar untuk makan dan minum, bahkan mandi pun tidak. Walau ia merasa seluruh tubuhnya penuh noda, noda yang tak akan hilang meski ia mandi beratus kalipun.

Hingga kedua orang tuanya menyadari ada keanehan pada anak perempuan satu- satunya yang mereka miliki itu. Terlebih Meta tak terlihat berangkat ke kampus seperti biasa, padahal libur semester pun masih lama.

Mitha—ibu Meta, membuka pintu kamar anaknya yang tampak gelap. Sekalipun ia sibuk bekerja, tapi perubahan dalam diri anaknya bisa terlihat. Hal itu jelas membuatnya khawatir. Ia melihat sosok Meta yang berbaring meringkuk di atas ranjang dan membelakanginya. Wanita paruh baya itu pun menghampirinya dan menepuk pundak anaknya perlahan. " Meta. Kamu beberapa hari ini nggak kuliah?"

Meta hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

" Kenapa?"

" Nggak mau." Suara Meta terdengar serak.

" Kamu nangis?" Mitha pun memaksa membalikkan tubuh Meta agar gadis itu menatapnya. " Astaga! Kamu kenapa, nak?" tanyanya histeris, ketika melihat keadaan anaknya yang tampak kacau.

Wajah Meta memang terlihat sembab, seperti orang yang terus menerus menangis. Juga pakaian gadis itu yang terlihat kotor dan tak diganti selama beberapa hari. Meta kembali terisak, memeluk ibunya dengan erat dan menumpahkan segalanya.

" Kamu kenapa, sayang?" tanya Mitha yang semakin cemas dengan keadaan putrinya. Tak biasanya Meta seperti ini. Anaknya adalah gadis yang ceria dan selalu bersemangat.

" Mah... Meta nggak mau kuliah lagi."

" Loh, kenapa? Bukannya kamu suka kuliah? Apa jurusannya nggak tepat? Tapi, bukannya kamu suka jurusan bisnis itu?"

Meta kembali menggelengkan kepalanya. " Meta takut, Mah. Meta takut. Orang- orang di sana jahat."

" Kamu kenapa, sayang? Coba jelasin sama mamah," ucap Mitha berusaha mencerna semua ucapan putrinya yang terdengar rancu baginya.

" Meta... " Seakan tak sanggup mengatakannya, Meta kembali menangis.

" Meta! Jelasin sama mamah!" Mitha mengguncangkan tubuh putrinya yang terus menangis tanpa memberi penjelasan.

Meta menggelengkan kepalanya dengan keras. " Mereka menodai Meta, Mah! Meta kotor! Meta gadis yang kotor!"

......................

" Kalian itu bagaimana sih mendidik anak? Punya anak satu aja nggak becus!" sungut Miranda—ibu dari Hendrik—ayah Meta. " Anak cewek kok nggak keurus gitu. Udah nggak suci lagi. Buat apa?"

" Mah, ini bukan sepenuhnya salah Meta. Dia bilang orang- orang itu menjebaknya." Hendrik berusaha menjelaskan, meski dirinya sendiri mengalami shock parah. Tak menyangka kejadian senaas itu menimpa putrinya sendiri. Kejadian yang tadinya hanya ia lihat berseliweran di berita, kini dirasakannya sendiri.

" Tetap saja! Dia juga nggak bisa jaga diri! Ngapain sore- sore masih di kampus! Kumpul sama cowok- cowok, kayak cewek nggak bener aja!" Miranda mendengus kesal, melirik ke arah menantunya yang terus terdiam dan menangis sejak tadi. " Jangan nangis terus! Nggak bakal bikin anakmu suci lagi."

" Mah! Kita nggak seharusnya begini, harusnya kita dukung Meta dan melaporkan semuanya. Meta jauh lebih menderita, Mah," ucap Hendrik tak terima ketika anaknya terus disudutkan.

Miranda malah membuang muka. " Mamah nggak mau peduli. Dia sudah membuat nama keluarga kita jelek! Dia itu aib! Jangan sampai mamah melihat wajahnya lagi, yang ada nanti jantungan ngelihat anak nggak tahu diri itu!" Wanita yang mengenakan dress pendek berwarna merah itu pun beranjak dan pergi, didampingi oleh supir pribadinya karena suaminya telah meninggal beberapa tahun lalu karena serangan jantung.

" Pah, gimana ini?" tanya Mitha seraya menggenggam tangan suaminya. " Kita nggak bisa membiarkan ini, kasihan Meta."

Hendrik membalas genggaman tangan istrinya dan menepuk punggung tangannya dengan lembut. " Kita coba cari keadilan untuk putri kita ya."

........................

Selain cinta yang tulus, sepertinya yang paling sulit didapatkan di dunia ini adalah keadilan.

" Maaf, Pak. Tapi kami tidak bisa melanjutkan laporan ini. Kasusnya sudah lewat dari dua puluh empat jam, mau melakukan pemeriksaan di dokter pun percuma karena bukti- buktinya pasti sudah tidak terlihat."

" Loh bagaimana sih? Ini anak saya udah bukti yang konkrit loh, mau bukti apalagi? Dia ini korban sekaligus saksi dari apa yang dia alami, Pak!" Hendrik seolah tak terima dengan ucapan pria berseragam di depannya. " Saya pokoknya mau melaporkan pelakunya! Saya mau membuatnya membayar semua perbuatannya pada anak saya! Saya nggak terima!"

" Kenapa nggak minta dinikahin aja pak sama pelakunya? Kan jadi nggak ribet lapor sana sini." Ucapan polisi itu semakin kacau saja.

" Pahh." Meta menggenggam tangan ayahnya yang seakan tersulut emosi. Ia menggelengkan kepalanya dengan putus asa. " Meta mau pulang aja."

" Tapi Meta... "

" Percuma, Pah... jika mereka saja tidak bisa menghargai wanita sebagai korban kekerasan seksual, kita nggak akan pernah memenangkan perkara ini. Meta capek. Meta mau istirahat," ucap Meta dengan suara yang tentunya dapat didengar oleh petugas yang menangani mereka. Ia pun langsung beranjak ditemani oleh ibunya, meninggalkan tempat yang tak akan memberikan keadilan bagi korban- korban seperti dirinya. Ia sudah banyak membaca kasus sepertinya, kebanyakan pun tidak berakhir memuaskan.

Para wanita, tak hanya menjadi korban di masa kini, tapi juga masa depan yang telah dihancurkan oleh pria tak bertanggung jawab. Lalu para pelaku itu? Mereka hidup bebas tanpa rasa bersalah, melanjutkan hidup seolah tidak pernah menghancurkan hidup anak perempuan orang lain yang dibesarkan dengan kasih sayang.

Meta sadar. Orang tuanya jelas punya cukup uang untuk menuntut pelaku, tapi proses panjang dan melelahkan ke depannya, ia tak sanggup. Melihat pria brengsek yang telah merenggut harga dirinya itu lagi pun rasanya bisa membunuhnya saat itu juga. Ia tidak mau lagi berurusan dengannya atau dengan siapapun yang bersangkutan dengan pria itu. Terlebih tak adanya dukungan dari keluarga besarnya, membuat Meta semakin berkecil hati. Bahkan kedua orang tuanya kini dijauhi oleh keluarga besar mereka, terutama keluarga nenek dari ayahnya. Sementara keluarga besar ibunya tidak banyak, itupun mereka bukan orang yang mengerti dengan kasus seperti ini.

Meta merasa semakin terasingkan, meski kedua orang tuanya masih tetap berada di sisinya.

" Meta... kita harus melanjutkan laporan ini. Kita harus memenjarakan pria brengsek itu," ucap Mitha berusaha menasehati anaknya.

Meta kembali menggelengkan kepalanya. " Nggak, Mah. Meta takut ketemu mereka lagi. Meta nggak sanggup. Meta mau mati aja."

Kali ini Mitha menggelengkan kepalanya dengan cepat, memeluk anaknya dengan erat seolah takut kehilangan. " Jangan ngomong begitu. Jangan pernah tinggalin mamah sama papah. Kamu satu- satunya yang kami miliki, Sayang."

" Meta nggak berguna lagi, Mah," ucap Meta mengingat ucapan neneknya tempo hari. Ucapan yang mampu menyayat lukanya yang masih menganga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 01, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Metafora CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang