encounter

40 1 0
                                    

Nadira Narayana, 2018

Aku tidak begitu ingat bagaimana aku bisa mengenalnya. Hanya sebatas nama yang aku sadari pemiliknya, kami perlahan berkelindan satu sama lain entah berapa lama. Berkelahi dan kembali sama, mengejar cita diwarnai suka.

Dia bukan siapa-siapa, tidak pernah istimewa. Keberadaannya entah bagaimana hendak disadari massa, kerap dia mengeluarkan batang hidung pun bisa dihitung seumpama kata keluar dari tuturnya. Birainya tipis, tawanya yang lebar. Tak pernah aku lihat sesosok Adam begitu nyata adanya.

Perkenalan pertama kami tidak juga luar biasa. Hanya dua insan yang saling mengejar cita, takdir membawa kami mengaliri hidup dengan gelimang suka nan duka. Kadang banyak tanya menggantung dalam benak, tapi sesegera mungkin keberadaannya menyumpalku dengan bahagia yang beranak pinak.

Hari itu di sore yang hujan, hanya sebuah mobil Suzuki mangkir di lobi sekolah yang hujan. Ramai benar pelajar menunggu jemputan mereka datang. Para siswa berkumpul membahas kompetisi F1 kesukaan mereka yang baru tayang tadi malam. Pantas, batinku, banyak dari kawanku yang datang terlambat pagi tadi. Sementara siswi sibuk mengobrol bersahutan, sesekali lengking suaranya berlomba dengan suara hujan.

Bagaimana denganku?

Aku melamun waktu itu, beruntung disadarkan kilat dan petir. Sesekali napas kuhela, mengeratkan gendongan tas di punggung. Berat. Dua kawan karibku tidak masuk kelas hari ini, terpaksalah aku sendiri bak bocah yang digelandang orang tuanya di terminal antarkota. Namun juga tidak ada salahnya. Tidak ada tanda-tanda kedatangan Bunda. Semakin sibuk saja beliau dengan pekerjaannya.

Kupandang lembar jawaban yang baru tadi dibagi guru Bahasa Inggrisku semester ini. Ada angka 100 tertera di sana. Ada pula pajangan di lobi dengan namaku di peringkat pertama. Sungguh tak sabar aku beri tahu berita ini kepada Mama. Barangkali hari ini aku tak punya siapa-siapa untuk dibagi cerita, setidaknya aku punya setitik kabar gembira.

Lamunanku lagi-lagi terputus kala Suzuki yang sejak tadi belum pergi itu membunyikan klaksonnya. Laksana serdadu yang buru-buru, menyembul sesosok siswa dari kerumunan penunggu redanya hujan. Langkahnya yang panjang nan gugup menyenggol pundak letihku. Beruntung aku hanya terhuyung. Hendak marah, tapi tenagaku sudah tandas lantaran mengerjakan dua puluh soal Pesawat Sederhana satu jam yang lalu.

Hanya mampu kuhujani umpatan seiring punggungnya yang hilang ditelan deru hujan. Aku tahu, namanya Adrian. Kelasnya di pojok lorong lantai tiga, kelas tingkat akhir yang lebih menonjol kemampuan non akademiknya.

Ah, entah. Aku tak banyak peduli hari itu, sebab mobil Mama sudah berhenti tepat di depan lobi, menjemputku. Masuk aku ke dalamnya. Mama mencium puncak kepalaku dan mengucap maaf karena terlambat menjemput. Tak apa. Dan kemudian, kuceritakan segala hal yang terjadi kepadaku hari itu. Kecuali bagian Adrian menubrukku, itu tidak perlu.

Sampai aku tidak pernah tahu sepandai apa takdir mempermainkan alam semesta, lantas Adrian Lazuardi selalu ada dalam pokok bahasan kami berdua.

Pada lain-lain kesempatan, aku tidak pernah memperhatikannya. Pikiranku penuh dengan ujian akhir yang semakin dekat. Entah sial atau beruntung, aku masuk ke kelas unggulan yang dijadikan jagoan oleh pihak sekolah. Meskipun kami tinggal di kota yang kecil dan persaingan tidak sebrutal di kota-kota lainnya, aku tetap berorientasi penuh terhadap apa yang aku lakukan.

Lantas pada titik akhir perjuangan, sekolahku menduduki peringkat pertama sekolah swasta terbaik di kota kecil kami.

Kemudian selesailah perjuanganku di Sekolah Menengah Pertama. Waktunya menjejakkan diri di jenjang yang lebih tinggi. Pilihanku jatuh pada sekolah negeri di pinggiran kota. Sejuk, sepi, dan asing. Aku menghilangkan diriku sendiri.

BackburnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang