2

21 0 0
                                    

"Capek, Yan."

"Kakimu yang terlalu pendek, Ra."

Nadira melempar kotak tisu yang ada di atas meja. Adrian mengaduh pelan sebab ujungnya mengenai lengan lelaki itu. Mereka kini tengah berada di ruang keluarga rumah Ira, beristirahat setelah lari beberapa putaran di GOR—meskipun lebih banyak Ian yang lari, sementara Ira menunggu duduk di pinggiran sambil meledek. Namun sekarang, giliran gadis itu yang marah-marah karena Ian meledeknya pendek sejak perjalanan pulang.

Masih dengan gerutu, Ira merebahkan diri di sofa sedangkan Ian duduk lesehan di karpet dengan konsol game dalam genggaman. Dia memang seringkali main game di sana kalau laptop kesayangannya tidak dibawa. Menurutnya, ruangan keluarga Ira itu kelewat nyaman untuk dilewatkan. Walaupun TV-nya tidak sebesar miliknya, sofa dan karpetnya juara. Selera Tante Namira memang tidak perlu diragukan.

"Ganti dong, Yan, sekarang ada We Bare Bears di Cartoon Network, tahu!"

"Itu siaran ulang, kan? Tonton saja dari YouTube."

"Ian!" Nadira berseru kesal. "Ini rumah siapa, sih, sebenarnya?"

"Tante Namira," sahut Ian santai.

"Dasar manusia aneh!"

Bukannya balas menghujat, Ian malah tertawa terbahak-bahak. Baginya, sangat menyenangkan ketika berhasil meledek Ira—apalagi kalau wajah gadis itu mulai memerah seperti tomat matang. Pipi bulatnya terlihat makin mengembang.

Ira masih bersungut kesal ketika Mama memasuki ruang keluarga sambil membawa sepiring anggur hijau tanpa biji, kesukaannya. Seketika atmosfer ruangan berubah drastis, tak lagi panas karena emosi. Adrian mendecih pelan, makanan memang kelemahan terbesar Nadira Narayana.

"Kalian kalau begini terus, belajarnya kapan?"

Ian meringis, menghentikan gerakan ibu jarinya pada konsol. Tante Namira membuka percakapan dengan topik yang kurang ia suka. Yah, meskipun sebenarnya dalam lubuk hatinya yang terdalam, ada secercah perasaan bahagia karena ia merasa ada yang memperhatikannya. Ian akui, keluarganya harmonis. Tapi cara mereka mengungkapkan perasaan tidak pernah terus terang layaknya Tante Namira.

"Senin sampai Sabtu, Ma," jawab Nadira mengunyah anggur, "Ian tuh yang tidak pernah belajar."

"Kamu pikir sekolah dan bimbel itu bukan belajar, Ra?" lelaki di dekatnya menyahut sinis.

Ira hanya menjulurkan lidahnya, tidak peduli.

"Oh, Ian sudah mulai bimbel? Hari apa saja?"

"Sudah, Tante. Ian bimbel Hari Senin, Rabu, dan Jumat. Hari Sabtu bimbel privat di rumah."

Tante Namira mengangguk paham, yang kemudian menghadap ke arah Nadira, "Tuh, Ra, Ian sudah mulai bimbel? Kamu mau mulai kapan?"

Giliran Ira yang mendengus. Ini lagi, ini lagi, batinnya. Ia masih belum ingin mengikuti kegiatan bimbingan belajar di luar sekolah, masih ingin bersantai. Gadis itu membayangkan betapa banyak waktu menonton anime One Piece yang akan hilang kalau ia menghabiskan waktunya untuk frustasi menghadapi soal. Memangnya sekolah masih tidak cukup, ya? Toh, ia masih sering menyempatkan diri mampir ke perpustakaan kota untuk belajar di sana, meskipun tanpa tentor, asalkan kondisinya tenang, ia merasa mampu-mampu saja.

Menurut pengalamannya sewaktu kelas sembilan dulu, bimbel dan tidak bimbel sama saja. Yah, meskipun banyak terbantu juga, tapi tidak sebanyak yang Mama kira. Ira malah banyak belajar dari buku dan catatan para kakak kelas.

Namun pagi ini, Mama lagi-lagi membawa topik yang tidak ia sukai. Jadilah hari ini seperti kompak merusak Hari Minggunya—dengan Adrian yang terus-terusan meledek sambil tertawa. Termasuk tentang sikap keras kepalanya yang masih menolak ikut bimbel, Ian mengejek dan menyebutnya 'ansos' sebab Ira memang kurang bisa bersosialisasi dengan orang baru—dan hal ini juga yang menjadi penyebab ia hanya  berteman dekat dengan kenalan semasa SMP.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 13, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BackburnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang