04. Harapnya Akan Tetap Pulang

103 9 3
                                        

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Katanya hal yang paling mahal di dunia adalah waktu, maka Seja akan berani membayar berapapun untuk itu. Bahkan jiwa sekalipun bisa ia taruhkan untuk memiliki waktu bersama ayah. Ini kesempatan langka, tidak banyak waktu leluasa yang dapat ia habiskan bersama ayah. Rasanya sudah seperti menemukan emas di siang bolong. Maka dengan itu montornya ia lajukan menghambur bersama pengendara-pengendara lain yang sepertinya juga tengah terburu. Jalanan licin bahkan tidak membuatnya memelankan laju. Tubuhnya juga sudah lama ia relakan lengket dan basah terkena gerimis.

Tidak ia hiraukan langit yang terlihat beberapa kali mengeluarkan gemuruh juga kilat yang saling bersahutan. Mungkin sebentar lagi hujan lebat akan sepenuhnya mengguyur kota. Dibalik kaca helmnya yang berembun, Seja melirik kotak yang nampak basah namun titik-titik air itu hanya berjatuhan menuruni kantong plastik tanpa berhasil menembus apa yang ada di dalamnya. Dalam hati merasa lega. Kotak yang berisi hal istimewa itu tidak boleh terkena apapun.

Hatinya terlampau senang ketika tadi ayah mengabari bahwa akan segera pulang, yang artinya kali ini Seja bisa menghabiskan waktu bersama lebih lama dari minggu dan bulan-bulan sebelumnya. Terakhir ia dapat melakukan hal-hal menyenangkan bersama ayah ketika tubuhnya kala itu tengah terkena demam jadi ia merasa kurang puas. Maka ketika montornya sudah berhasil memasuki halaman rumah, dengan terburu tungkainya melangkah ringan menuju pintu. Ketika pintu berhasil Seja dorong bukan ayah, melainkan mama yang menyambutnya pertama kali.

Beberapa detik Seja hanya dapat berdiam tanpa melakukan apapun, terlalu terkejut dengan kehadiran mama di jam yang tidak biasanya wanita sudah sampai rumah. Biasanya mama akan pulang ketika adzan isya sudah selesai dikumandangkan, sedangkan sekarang bahkan jam masih menunjukkan pukul tujuh.

Wanita itu mengalihkan pandang dengan cepat dari Seja, berlagak seperti tidak ada siapapun di depannya.

"Minggir." Ujarnya terlampau dingin. Lebih dingin dari angin yang dibawa hujan diluar sana.

Seja menyingkir dan membiarkan mama melewatinya keluar. Sebenarnya dirinya ingin bertanya akan kemana wanita itu di cuaca seperti ini, namun ia urungkan ketika mama ternyata hanya keluar mengambil mantel miliknya yang tersampir untuk melipatnya lalu membawanya kembali ke dalam. Sepertinya mama juga belum lama sampai rumah. Di momen itu seketika Seja seperti melupakan niat awalnya. Sekarang perhatiannya total tertuju untuk mama. Seja tidak akan menjadikan ini sia-sia.

Ketika wanita itu akhirnya duduk di salah satu kursi ruang tamu sibuk memainkan telepon genggam miliknya, Seja mengangkat kantong yang sedari tadi masih erat ia genggam ke depan mama dan menaruhnya di meja.

"Ma, tadi aku mampir beli martabak daun bawang, masih anget."

Seja mengambil jeda untuk menetralkan detak jantungnya yang berdetak tidak normal. Rasa lega, takut, juga bahagia menggerogoti dadanya. Setiap berhadapan dengan mama dirinya selalu tidak bisa mengontrol tubuhnya. Merutuk dalam hati agar tidak membuat wanita yang ia hormati seumur hidupnya ini tersulut emosi seperti sebelum-sebelumnya.

SEGITIGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang