1. Sepatu Dari Langit

33 4 0
                                    

Kepalaku sedikit pusing setelah satu jam penuh menghadapi soal-soal Aljabar. Matematika dan aku adalah dua hal yang tidak seharusnya bertemu. Tak ada chemistry di antara kami. Semakin aku mendekatinya semakin besar pula energi yang harus kukerahkan untuk menghadapinya.

Aarrrgghhh... Aku butuh energi! Energi!!

Segera setelah sesi istirahat tiba, kuraba saku celana. Sebelum berangkat tadi kuselipkan sereal coklat favoritku di sana. Kudapan manis adalah booster ampuh yang mampu mengembalikan energiku. Biasanya kantin adalah tujuan prestisius setelah berjuang melewati ujian apapun. Namun tak ada rencana ke sana pagi ini. Sesuatu yang lebih penting harus kuselesaikan segera.

Kuraih buku sketsa dan kotak pensil yang isinya cukup lengkap. Sesaat sebelum beranjak dari bangku, Farel- teman yang duduk di bangku sebelahku merebut buku sketsa di tanganku.

"Tega kamu, Al!" Pekiknya di telingaku.

Aku terkejut oleh suaranya yang bagaikan speaker full volume itu. Tubuhnya memang kecil. Namun jangan remehkan suaranya yang membahana. Ingin rasanya kutimpuk kepalanya dengan tas punggungku. Namun aku takut kemampuan mendengarnya semakin buruk. Asal kau tahu, telinga kanan Farel hanya mampu menangkap suara di atas delapan puluh desibel.

"Sudah dari lama aku minta digambar, kan? Tapi mana? Mana??" Ucapnya sambil berusaha menjauhkan buku sketsa dari jangkauanku.

Aku hanya tertawa.

Anggap saja itu sifat burukku dan hampir semua orang yang suka menggambar sepertiku. Bagiku permintaan orang dekat seperti Farel ini, hanya akan berlalu begitu saja. Aku tidak terlalu menganggap permintaannya serius. Toh kami masih selalu bertemu di sekolah. Padahal jelas aku ingat dia memintaku menggambarnya saat kami masih kelas satu. Kini, kami sudah kelas dua dan semester akhir hampir berlalu.

"Besok lah, gampang itu" tegasku sambil merebut buku itu dengan cepat dari tangannya lalu segera berlari keluar dari kelas.

Di luar aku masih bisa mendengar Farel mengoceh.
"Besok lagi, besok lagi. Gitu terus sampai Upin Ipin masuk SMA." Ucapnya dilanjutkan dengan tawa.

Setelah melewati lapangan utama dan tiga gedung lagi, akhirnya aku sampai di spot favoritku. Matahari pukul sembilan pagi cukup menyengat pagi ini. Namun teriknya tak mampu menembus tempat yang kini kudatangi. Pepohonan di berbagai sudut membuat semua yang berada di bawahnya menjadi teduh. Sinar matahari hanya bisa mengintip melalui rangkaian celahnya.

Tempat ini sepi. Letaknya yang berada jauh dari gedung utama membuat anak-anak lain enggan datang. Aku suka ketenangan. Tanpa gangguan. Bagiku semakin tenang sebuah tempat semakin baik untuk mengisi ulang energi. Mungkin karena alasan inilah sebagian orang melabeliku 'cowok aneh', atau 'Al, Si Pujangga kesepian'. Kesepian? Aku selalu menertawakan istilah itu. Kapan aku pernah merasa kesepian? Menyukai ketenangan dan kesepian adalah dua hal yang berbeda.

Selain tenang, taman ini juga punya kolam ikan. Suara gemericik kolam di salah satu sudutnya semakin membuat tempat ini spesial. Kuanggap ikan-ikan di kolam ini temanku karena tak jarang kuajak mereka bicara.

Aku memilih duduk di tepian kolam. Bersandar pada dinding gedung berwarna biru di belakangku. Gedung ini adalah gedung C. Sebuah gedung berlantai tiga untuk siswa jurusan sains. Setelah menata posisi terbaik untuk menggambar tanpa meja, kulanjutkan sketsa pesanan seseorang yang hampir selesai. Satu detail lagi di bagian wajah maka gambar ini sempurna!

Namun entah kenapa perasaanku mendadak jadi tak enak. Kucoba mengabaikan perasaan itu dengan tetap mengarsir detail sketsaku. Namun aku ingat sebuah ungkapan bahwa laut yang terlalu tenang itu mencurigakan. Bisa saja setelah ini ada badai yang datang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My First TrialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang