Sometimes you have to dig a little deeper and get to know the darkness before you can appreciate the light
~Anonymous~
2014
Musik hingar-bingar terdengar di dalam ruangan itu. Grup band sedang memainkan lagu di atas panggung sementara beberapa anak menari. Ada yang berpasangan. Ada yang membentuk grup yang terdiri dari beberapa orang dan menari bersama. Lampu-lampu dengan berbagai macam warna menerangi aula besar tempat pesta prom itu diadakan. Suasana masih cukup terkendali saat ini, namun dengan malam yang semakin larut, beberapa orang sudah mulai terlihat linglung karena minuman yang dicampur alkohol. Semua orang sedang bersenang-senang pada malam pesta prom kelulusan mereka. Sebenarnya, tidak semua orang.Sheila tengah mengamati seseorang di seberang ruangan. Dia tidak dapat melepaskan tatapannya dari pria itu. Meskipun sebagian besar wajahnya tertutup topi, tapi Sheila tahu pria itu tidak seharusnya berada di sini. Jelas-jelas dia bukan anak SMA dan pesta yang saat ini sedang berlangsung adalah malam prom sekolahnya. Pria itu tidak terlihat membaur dan pakaiannya memang bukan untuk pesta. Celana jeansnya robek dibagian lutut dan T-Shirt hijau army mengintip dari balik jaketnya yang tidak tertutup.Bagaimana pria itu bisa masuk ke sini? Pesta ini hanyauntuk kalangan terbatas dan Sheila yakin pria itu setidaknya adalah anak college bukan SMA. Namun pria itu masih berdiri dengan santai seakan tidak ada yang aneh dengan keberadaannya di sana. Sheila segera mendapat jawaban atas pertanyaannya saat itu juga. Seseorang yang kira-kira sebaya dengan pria itu datang menghampiri. Mereka berbicara sebentar dan Sheila menyadari bahwadia adalah pelayan catering untuk pesta promnya. Si pelayan menyerahkan serenteng kunci pada pria itu. Sheila melihat sekilas bibir di bawah topi yang menyunggingkan senyum tipis sebelum akhirnya pria itu melambai kepada temannya dan pergi.Sheila terpana. Jantungnya berdebar hanya dengan seulas senyum yang nampak dari jauh. Dia tidak menunggu lama untuk menyeberangi ruangan dan menghampiri pelayan yang tadi bicara dengan pria itu."Siapa dia?" Tanyanya tanpa basa-basi.Pelayan yang ada di depannya nampak terkejut dengan kehadiran Sheila dan tidak menyangka ada tamu pesta yang akan mengajaknya bicara. Dia mengamati Sheila sejenak, agak tercengang melihat gadis cantik dengan gaun menyapu lantai yang kini telah diangkat sedikit agar Sheila lebih mudah berjalan dengan cepat. Sheila mengerjapkan mata abu-abu terangnya dengan tidak sabar saat pelayan itu tidak juga menjawab pertanyaannya."Siapa pria tadi?" Dia berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terdengar terlalu penasaran meski sikapnya menunjukkan hal sebaliknya. Pelayan pria di depannya seakan tersadar dari lamunan dan menjawab dengan agak gugup."Teman saya. Maaf kalau saya memasukkannya ke dalam tapi saya sangat sibuk sehingga tidak bisa keluar untuk menemuinya. Tolong jangan laporkan pada supervisor saya.""Apa yang dia lakukan di sini?""Mengambil kunci apartemennya yang dia titipkan pada saya saat dia pergi. Hanya itu, Miss.""Siapa namanya?"Pelayan pria itu terlihat bingung dengan pertanyaan Sheila. Apa hubungan antara nama temannya dengan ini semua? Lalu tiba-tiba dia memahaminya. Gadis ini akan melaporkan dirinya dan dia butuh nama temannya untuk memperkuat laporannya."Miss, berbaik hatilah sedikit. Dia benar-benar hanya datang mengambil kunci. Saya tidak memasukkan orang jahat ke pesta ini," kata pelayan pria itu memelas. Sheila melihat badge nama yang menempel di dadanya dan bicara dengan suara sesabar mungkin."Aku tidak akan melaporkanmu...Greg. Tapi kalau kau tidak memberitahuku siapa namanya, aku benar-benar akan melakukan itu.""Lucas."Greg si pelayan pria menjawab hampir otomatis. Sheila menyambar benda pertama yang dilihatnya di meja catering dan berlari keluar. Dadanya terasa sesak karena dia berlari begitu cepat tapi usahanya tidak sia-sia. Pria itu masih berada di depan gedung dan sedang berjalan menuju halte bus yang tidak jauh dari situ."Lucas!"Pria itu menoleh dan Sheila melihat mulutnya yang agak terbuka karena terkejut. Raut wajahnya yang lain tidak dapat dibaca karena topi yang menutupi sebagian wajahnya."Apa aku mengenalmu?" Suara yang dalam dan rendah mengalun bagai musik nan indah di telinga Sheila. Dia berusaha agar tidak terlalu terpengaruh."Kau menjatuhkan ini," Sheila menyodorkan benda yang tadi dia sambar dan langsung menyadari kebodohannya. Dari jauh, benda itu tampak seperti sapu tangan tapi setelah di perhatikan baik-baik, benda di tangannya jelas-jelas adalah serbet dengan tulisan Manville Catering."Serbet?" Suara pria itu terdengar geli."Kalau begitu aku yang salah," Sheila merasakan pipinya memanas, "Aku permisi."Sheila membalikkan badan dan menyesali tindakannya yang spontan. Dia tidak pernah begini. Apa yang terjadi pada dirinya? Namun dia belum sempat melangkah pergi saat suara dalam itu kembali menyapanya."Tunggu." Sheila menoleh dan melihat senyum pria itu yang kembali muncul. "Kau belum menjawab pertanyaanku.""Yang mana?" Tanya Sheila dengan bingung."Apa kita saling mengenal? Kau tahu namaku."Sheila yakin wajahnya tidak bisa lebih merah lagi daripada saat ini. Tapi dia dapat mengendalikan dirinya dengan baik dan bicara dengan suara setenang mungkin."Tatap lawan bicaramu saat bicara.""Aku menatapmu.""Aku tidak bisa melihat wajahmu."Kali ini senyum yang tersungging di bibir pria itu adalah senyum nakal. Perut Sheila bergolak saat melihatnya dan dia bersyukur pria itu tidak dapat melihat lututnya yang gemetar karena gaun panjang yang dikenakannya."Apa itu yang membuatmu menanyakan namaku pada Gregdan mengejarku? Kau ingin tahu bagaimana rupaku?"Kini Sheila yang terkejut dengan kata-kata pria itu. Namun tidak lama karena pria itu kembali bicara dengan senyum yang sama dan nada geli yang tidak ditutup-tutupi."Aku melihatmu. Sulit mengabaikan gadis secantik dirimu apalagi kalau kau terus-terusan menatapku seakan aku adalah makan malammu. Koreksi kalau aku salah."Sheila tidak mengoreksinya. Dia terlalu malu dan kata-kata pria itu memang benar. Dia tidak suka berbohong. Tapi bukan berarti dia juga harus mengatakan kebenarannya. Sebelum Sheila sempat melontarkan komentar balasan, pria itu membuka topinya dan apapun yang ingin dikatakan Sheila langsung terhenti di ujung lidahnya.Tempat mereka berdiri hanya diterangi oleh lampu jalan namun Sheila dapat melihat dengan jelas rambut pirang yang tadinya tersembunyi di balik topi itu. Angin meniup helai-helai rambut di keningnya.Mata yang kini menatapnya adalah warna biru paling gelap yang pernah dilihat Sheila. Alisnya lebih gelap dari pada rambutnya dan hidungnya yang lurus menampilkan kesan arogan. Seperti senyuman di bibir tipisnya. Pria ini dapat membuat gadis manapun bertekuk lutut padanya. Dia sangat tampan dan memancarkan aura maskulin yang memabukkan. Bukan tipe yang memiliki otot-otot besar di tubuhnya, tapi lebih seperti macan kumbang. Yang bergerak luwes dengan tubuh langsing dan otot menonjol di tempat yang tepat, meski tidak terlalu kentara karena jaket yang di kenakannya. Namun dada bidang dan bahu lebarnya menunjukkan hal tersebut.Jadi tindakan Sheila tadi tidak sepenuhnya salah. Hanya benar-benar memalukan. Tapi Sheila bahkan belum melihat wajah pria itu dengan jelas tadi. Tindakannya sudah lebih dari memalukan."Suka yang kau lihat?"Pertanyaan yang di sampaikan dengan menggoda itu menyadarkan Sheila. Dia menelan ludah. Berharap suaranya tidak bergetar saat bicara."Aku harus pergi," dia kembali mengangkat rok gaunnya tapi pria itu melangkah mendekat. Sheila tidak bergerak. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan pria itu sekarang."Aku sudah melihat wajahmu," katanya saat sampai di depan Sheila. Mereka berdiri begitu dekat dan Sheila menyadari kalau pria itu lebih tinggi satu kepala darinya, padahal saat ini dia sedang mengenakan high heels setinggi 9 cm. "Sekarang beritahu namamu."Pria ini memancarkan aura yang membuat Sheila merinding. Apalagi dengan keadaan disekitar mereka yang sepi. Dia bisa saja melakukan hal-hal buruk pada Sheila. Wajah tampan tidak menjadi jaminan bahwa pria ini bukan orang jahat."Aku benar-benar harus pergi," Sheila mendengar suaranya sendiri yang agak bergetar. Sebagian karena takut, lalu sebagian lagi karena kedekatan pria itu yang membuat Sheila dapat mencium aroma pinus yang keluar dari tubuhnya. Seperti aroma tanah yang baru diguyur hujan.Pria itu mengulurkan tangannya mendekati wajah Sheila tapi tidak menyentuhnya. Buku-buku jarinya membuat gerakan seakan menyapu pipi Sheila."Namamu?" Suara itu begitu rendah. Dan membujuk. Sheila tidak kuasa menolaknya."Sheila."Pria itu kembali tersenyum tipis. Lalu tiba-tiba, dia mundur dan mengenakan topinya kembali."Senang bertemu denganmu...Sheila."Pria itu melangkah pergi. Sheila terperangah namun segera menyadari kenapa pria itu pergi. Bus yang ditunggunya sudah datang. Meski malam ini dia telah melakukan hal yang cukup memalukan, namun hal itu tidak mencegahnya untuk melakukannya lagi."Kapan aku bisa bertemu denganmu lagi?"Pria itu berhenti diambang pintu bus yang akan dinaikinya. Dia menoleh dan mendongak hingga Sheila dapat melihat kilatan geli yang muncul di matanya saat menjawab."Twisted Head. Besok jam 8 malam."Sheila tetap menatap bus yang dinaiki pria itu hingga menghilang dikegelapan malam. Dia harus segera kembali ke dalam. Kini angin malam yang dingin mulai terasa di bahu telanjangnya. Selain itu, dia harus segera melakukan sesuatu. Senyum kecil menghiasi bibirnya saat memikirkan hal itu.
***
"Kau tahu Twisted Head?"Jessica mendongak dari layar gadgetnya. Dia menatap sahabatnya dengan heran."Jess...," Sheila mulai tidak sabar melihat sikap diam Jessica."Mau apa kau ke sana?" Jessica tidak berusaha menutupi nada tidak senang dalam suaranya."Aku tidak bilang mau ke sana," Sheila tidak membalas tatapan Jessica."Kau pembohong yang buruk, Sheila."Saat Sheila tidak juga memberi penjelasan, Jessica menghela nafas panjang sebelum bicara."Itu nama bar, Sheila. Bukan jenis yang bagus.""Apa yang harus kulakukan agar bisa masuk ke sana?""Kau bilang tidak akan pergi ke sana."Sheila segera menyadari kesalahannya tapi dia tidak bisa mundur lagi."Jess, kau sahabat terbaikku.""Oh...jangan pakai senjata itu."Sheila tidak menggubris protes Jessica. "Ini penting, Jess. Kau harus membantuku.""Tentang apa?" Tanya Jessica penasaran."Aku tidak bisa mengatakannya padamu," Sheila menjawab lirih."Kau terlibat masalah apa, Sheila?""Aku tidak terlibat masalah apapun.""Lalu tentang apa? Jangan bilang kalau tentang cowok."Wajah Sheila yang memerah telah menjawab segalanya. Jessica menggeleng dengan tidak setuju."Kau tidak boleh menemui cowok di situ. Tidak akan berakhir dengan baik.""Katakan saja di mana tempatnya," desak Sheila."Sheila McAdams, apa yang terjadi denganmu?" Jessica tidak dapat menyembunyikan keterkejutan terhadap sikap sahabatnya. Sheila tidak pernah begini. Dia bukan gadis bodoh yang akan mengejar pria sampai ke sebuah bar kumuh. Tidak. Sheila gadis baik-baik. Lebih tepat jika disebut naïf."Jess, kau harus membantuku. Aku janji kau tidak akan menyesalinya," Sheila masih berusaha membujuk sahabatnya."Ayahmu akan membunuhku," erang Jessica."Ayahku ada di Perancis. Dia tidak akan tahu," kata Sheila acuh."Seharusnya dia lebih sering berada di rumah untuk mengawasimu," gerutu Jessica. Sheila tidak menggubrisnya. Tapi Jessica tidak sepenuhnya benar. Sheila biasanya tidak butuh diawasi. Ayahnya menaruh kepercayaan padanya dan Sheila tidak pernah menyalahgunakannya. Hingga saat ini. Sheila bersyukur karena ayahnya akan berada di Perancis dalam waktu yang lama. Dia hanya perlu bilang pada pelayannya bahwa dia akan berada di rumah Bibi Sophie selama beberapa hari. Meski kenyataannya dia berniat untuk menginap di apartemen Jessica. Jessica tinggal sendiri sehingga akan lebih mudah bagi Sheila untuk keluar masuk tanpa mengundang tanda tanya. Kalau dia akan sering menemui pria itu. Dia hanya berharap Jessica tidak akan membocorkannya."Jess.""Baiklah. Tapi aku yang akan mengantarmu ke sana. Dan kau akan pulang bersamaku setelahnya.""Aku bisa naik taxi.""Taxi?! Kau pikir tempat macam apa yang akan kau tuju? Kau akan berakhir sebagai korban perampokan sebelum malam berakhir. Atau lebih buruk lagi.""Oke," Sheila akhirnya menyerah, "Tapi kau tidak akan ikut masuk.""Sepakat," kata Jessica setelah berpikir sejenak."Terima kasih. Kau yang terbaik, Jess," Sheila memeluk sahabatnya erat-erat sampai orang-orang di coffee shop itu memperhatikan mereka."Ew...lepaskan, Sheila. Ada cowok yang sedang kuincar di ujung sana."Lalu mereka sama-sama tertawa.