"Kupikir aku bisa tidur nyenyak malam ini," cakap Janar ketika tengah menggali makam.
"Jangan mimpi, Jan! Kau pikir selama ini kita bisa tidur nyenyak? Cih!" sahut Jali.
Malamnya, ketiga penggali makam didampingi sukarelawan pengangkut jenazah; bergotong royong mengubur wanita hamil. Sempat ada kendala sebelum memakamkan mayat, lantaran perempuan tua tadi tidak mau dipisahkan dari putrinya. Kemudian, mayat terpaksa direbut demi menumpas kutukan.
Sudah ketentuan mutlak di desa ini bila mengetahui wanita hamil meninggal secara tidak wajar; langsung dikubur. Suka tidak suka, peraturan tetaplah peraturan. Karena sudah tradisi, maka harus diikuti. Miris memang. Bagaimanapun matinya seorang jenazah, harusnya dimandikan, lalu di-shalatkan. Bukan langsung dikubur seperti bangkai binatang.
Setelah pekerjaan selesai, para sukarelawan pulang sementara ketiga penggali kubur beristirahat di pondok. Penasaran dengan kematian wanita bunting di kebun tebu, Janar menanyakan kembali kasus itu ke Jali. Akan tetapi, bukannya mendapat jawaban, Janar malah disemprot. "Aku tidak mau membahasnya lagi, bodoh!"
"Memangnya kalian membahas apa, Paman?"
Entah kenapa, mendengar polosnya pertanyaan dari anak paling muda, emosi Jali bangkit. "Sudah, tidak usah penasaran dengan urusan orang tua. Lebih baik kau pulang sana!"
"Oh, jadi sekarang Paman mengaku kalau diri Paman tua? Baiklah, karena aku masih muda, aku tidak akan ikut campur!"
Sekarang wajah Jali merah menyala. Janar tertawa, kemudian berkata, "Kau dengar, Jali? Marah-marah akan membuatmu tua. Lembutlah sedikit padanya!"
"Jadi sekarang kau memihak Jaka? Dasar pengkhianat!"
"Itu benar, Jal. Aku berkhianat sebab tidak mau wajahku tua. Hahaha!"
Walau suasana mencekam, ketiga penggali itu masih bisa tertawa. Lantaran suara mereka terlampau keras, mereka ditegur sosok penunggu pohon beringin. "Jangan berisik!"
Ketiganya tunduk, kemudian membawa cangkul masing-masing. Mereka melangkah dari pondok sepelan mungkin agar tidak diserang penunggu pohon.
"Permisi," lirih Jali.
Jali telah sampai di luar makam, sementara Jaka dan Janar masih di belakang. Masih dalam posisi membelakangi sosok penunggu, Jali memberi isyarat berupa gerakan tangan agar mereka mempercepat langkah.
"Cepat sedikit, Jaka!" desak Janar.
"Tapi kakiku berat, Paman!" keluh Jaka kesulitan menggerakan kakinya.
"Ah, aku duluan sajalah!" Janar sontak melesat bersama cangkulnya tanpa membantu Jaka yang kesusahan.
Jali baru bisa bernapas melihat Janar berhasil keluar dari makam, akan tetapi, setelah melihatnya sendirian tanpa Jaka, napasnya kembali sesak. "K-kenapa tidak kau bawa Jaka?!"
"Aku takut sekali! Makanya kutinggalkan dia."
"Sialan kau! Padahal sudah lama bekerja di makam, tapi masih takut juga," sindir Jali.
"Kau sendiri juga takut, kan?" tangkis Janar.
Ditengah perdebatan itu Jaka masih berupaya membebaskan diri, karena kakinya dicengkam Sundel Bolong. Jaka tak kuasa menahan mual lantaran punggung Sundel Bolong itu dipenuhi belatung dan kelabang. Jaka yang panik tiba-tiba mendongak ke pohon beringin. Tampak sosok Genderuwo, dengan tubuh penuh bulu; tertawa di atas penderitaannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/265123327-288-k420816.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Terkutuk [ON-GOING]
HorrorDesa Kembang digemparkan dengan mayat wanita hamil di tengah jalan. Warga berbondong-bondong menyaksikan, namun tidak berani menggotong jenazahnya ke pemakaman. Penduduk desa meyakini jika ada wanita hamil yang meninggal secara tidak wajar, maka des...