Selamat Tinggal Terakhir

14 3 1
                                    

"Ehem... Perkenalkan nama saya Theo. Saya sahabat Dean. Ummm... saya berdiri disini pagi hari ini karena Dean selalu suka kalau saya banyak bicara, dan mungkin dia juga ingin merepotkan saya. Biasanya mungkin dengan titip makanan saat saya ke kantin, atau meminta saya untuk membangunkan dia saat guru sudah masuk kelas, dan sekarang... sekarang dia merepotkan saya dengan meminta saya untuk berbicara sedikit tentang dia dengan menahan tangis dan jerit."

Sempat ku berhenti berbicara dan menarik nafas panjang.

"Dean adalah teman yang sangat baik. Dia tulus, suka berbagi, dan sangat suka menolong. Hehe, jika dipikir-pikir jiwa suka menolongnya itu yang membuat saya berdiri disini saat ini. Saya sempat berpikir saya tidak bisa untuk datang kesini hari ini. Tapi saat ini, saat ini adalah terakhir kalinya saya bisa mengatakan selamat tinggal, dan mungkin juga menghapus riwayat browsernya hehe."

Suasana gereja saat itu begitu hening. Serasa atmosfer yang sangat claustrophobic melihat begitu banyak orang namun tidak ada suara satupun kecuali suara tangis dari ibu Dean.
Namun terbesit olehku untuk membuat suasana sedikit menenangkan, terdengar suara tawa kecil di suasana seperti ini, menandakan seakan akan ada harapan untuk kita semua melewati masa sulit kehilangan Dean dari hidup kita. Jika Dean ada disini, dia pasti akan sangat suka mendengar lelucon lelucon yang aku lontarkan untuk dia.

"Sebelum bertemu dengan Dean, saya adalah anak yang dibully oleh teman teman lain. Saya adalah anak yang berpenampilan aneh kata mereka. Tapi Dean mengulurkan tangannya untuk saya bisa fit in dengan teman teman lain. Dean selalu menjaga saya disaat saat sulit."

Suaraku mulai gemetar, air mata mulai berjatuhan. Aku berusaha untuk membenahi diri.

"Maaf..." kataku dengan suaraku yang masih gemetar.

"Yang berusaha saya katakan adalah terimakasih. Terimakasih sudah ada di hidup saya. Terimakasih sudah memilih saya sebagai teman kamu. Sekarang istirahatlah dengan tenang, sahabatku."

Hari itu adalah hari penguburan Dean setelah beberapa hari di autopsi. Aku mendapat kabarnya sehari sebelum hari H. Malam itu berangin, mama mengetuk kamarku untuk mengantarkan makan malamku.

"Theo...?"

"Masuk ma."

"Ini makannya ya sayang."

"Makasih ya ma."

"..."

Mamaku duduk di pinggir kasur dengan diam. Seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan tetapi tidak memiliki keberanian untuk mengatakannya.

"Theo..."

"Iya ma?"

"Mama tadi dapet kabar, kalau penguburan Dean bakal di laksanakan besok siang. Dan semua bakal berkumpul di gereja sebelum itu."

Sempat ku terkejut dengan apa yang barusan mama katakan. Aku tidak pernah menyangka nama Dean dan kata penguburan berada di satu kalimat.

"..."

"Dan mama Dean sempet bilang ke mama kalau keluarga Dean mau kamu menyampaikan beberapa kata tentang Dean di gereja nanti."

"..."

"Tapi sayang, mama ngerti banget kalau kamu masih belum bisa keluar rumah. Mama ngerti banget kalau kamu gabisa dateng besok. Jadi kamu gausah maksain diri ya-"

"Aku besok dateng."

Mama melihatku dengan wajah terkejut, lalu wajah terkejutnya itu berubah menjadi senyum. Aku tersenyum kembali padanya untuk menunjukkan bahwa aku cukup kuat.

Di hari H, aku tidak begitu bicara banyak ke semua orang, bahkan teman teman sekolah. Orang yang aku ajak bicara hanya Andi. Andi terlihat begitu terpukul sama seperti halnya diriku pada hari itu.
Namun aku masih memikirkan tentang barang yang diberikan Dean di malam dia tertembak. Dia memberiku buku saku berisikan bahasa isyarat. Aku mempelajarinya selama aku di kamar. Bahkan aku sampai melihat tutorial melalui YouTube tentang bahasa isyarat. Tapi aku masih tidak tahu apa yang diinginkan Dean dengan memberiku buku ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Two Broken WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang