1

5 1 0
                                    

"Gue, ga seharusnya gini. Tapi gue harus banget ngelakuin ini. Sorry Lam. Bukan lo yang jahat, tapi gue yang ga baik untuk bisa nerima lo" ucap Neiwa dalam hatinya.
" bismillah.." seiring dengan ucapannya, jari jempol nya menekan tombol send.

Ya, pesan itu telah terkirim. Pesan yang sudah berungkali ia kirim kepada Herlam. Hanya saja, pada saat kali ini, Neiwa lebih menegaskan perkalimat yang ia katakan. Tak lagi seperti dulu, yang terkesan seperti memberi harapan kepada Herlam.

Neiwa bangkit dari kasurnya, berdiri lurus menghadap cermin kamar yang memperlihatkan perawakannya dari ujung rambut sampai kaki. Perawakannya berantakan, rambutnya ia biarkan terurai, piyama nya tak lagi rapi ditambah bekas noda biskuit cokelat masi menempel di pipinya.

Dua jam. Entah kalimat seperti apa yang ia uraikan kepada Herlam. Yang jelas, ketikannya selalu dipertimbangkan matang matang. Beberapa kali sebelumnya, ia menghapus ulang seluruhnya. Dan juga beberapa kali terhitung ragu memulai kalimat.

"Gue butuh kopi!" ucapnya berlalu beringas menuju dapur.

Bukan hal baru bagi Neiwa, mengatakan penolakan perasaannya pada Herlam. Herlam, teman satu kelas nya ketika duduk di kelas 10 itu beranggapan mereka saling suka satu sama lain. Neiwa, gadis pendiam yang tidak terlalu disorot ketika awal sekolah menjadi sangat terkenal dilingkungan sekolah. Bahkan di penjaga kantin dan senior sekalipun.

Telepon Berdering-
Panggilan Suara Ara.

"Hm, halo. Ada apa ra?"
"Lah, gila lo. Kan yang nelpon pertama tadi elo. Kok nanya gue?" ucap seorang gadis di seberang dengan nada kesal.

"Eh sorrrry. Gue lupaaaaa" ucap Neiwa sambil menepuk jidatnya.
"Gimana Nei?"
"Apanya Ra?"
"Lo jadi bilang?"
"Jadi Ra. Tapi gue belum siap nerima respon Herlam"
"Why? Bukannya lo juga udah sering giniin dia?" tanya Ara dengan nada kepo.
"I-iyaa sih Ra. Ya, gue cemas aja. Ntar Herlam mikirnya gimana gimana"
"Huh, kalau gitu mending lo coba text Lean" usul Ara dengan cepat
"Le-Lean? Maksud lo sahabatnya Herlam?" Neiwa mengernyutkan dahidan sejenak berhenti mengaduk kopi yang baru saja ia tambahkan gula.

"Iya Neiii. Lo jelasin. Lo minta pendapat Lean coba. Ntar sabilah tu kalau misal Herlam mikirin lo gimana gimana,  Lean nantinya bisa beri tahu Herlam kejelasan dari yang lo kasih" pungkas Ara dengan penuh keseriusan

"Yauda, baik baik. Ntar gue text Lean. Ntar kalau ada apa apa, tolongin gue ngerangkai kata buat jelasinnya ya Ra. Sekarang gue mau ngopi"

"Telepon gue kalau ada apa apa. Yaudah deh iya, gue tutup ni telefon. Bye Neiii" jawab Ara diseberang telepon diiringi bunyi 'tuts' tanda telepon sudah berakhir.

Tak butuh waktu lama bagi Ara menyadari ucapan "gue mau ngopi". Ucapan itu tak sekali ia dengar dari Neiwa. Namun mungkin sudah ratusan kali. "gue mau ngopi" adalah kalimat andalan Neiwa untuk menenangkan diri dan tidak ingin di ganggu oleh siapapun.

Neiwa perlahan berjalan ke balkon di dekat ruang tamu yang langsung mengarah ke pemandangan langit di terasnya. Ya, itu tempat favoritnya. Mengingat pesan yang ia kirim kepada Herlam, membuat Neiwa menyeduh kopinya dengan tatapan hampa yang tak bisa diartikan.

"Gue sayang sama lo Lam. Tapi lo bukan hal yang gue mau untuk masa gue yang mendatang. Lo keren, lo pintar dan lo juga cukup dalam hal materi. Hanya saja memang ketertarikan dalam diri gue untuk lo sebatas dalam hal persahabatan, ga bisa lebih Lam. 3 tahun, bukan waktu yang singkat bagi gue. Gue coba ngelakuin hal hal, memaklumi berbagai tingkah lo agar gue bisa suka sama lo. Tapi lagi, dan lagi. Gue gabisa. Im truly sorry Lam. Lo berhak dapat yang pantas untuk cinta tulus seperti yang lo miliki" lirih Neiwa mengulangi paragraf terkahir dari pesan yang sudah ia kirim kepada Herlam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 06, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

must be endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang