[Delapan]

1.7K 409 41
                                    

Sheza Widyadinata

Sekarang aku yakin, apapun yang telah mereka—Ambar dan Bu Kirana—bicarakan tentangku, pastilah lebih menarik daripada segala kecemasan yang sedari tadi ditunjukkannya. Buktinya, sekarang Bu Kirana lebih tertarik untuk mengobrol denganku daripada memeriksa keadaan anak sulungnya yang notabene sudah dua minggu tidak keluar rumah dan terindikasi mengalami masalah dengan sahabat-sahabatnya.

"Sudah berapa lama bekerja di sini?" Bu Kirana mulai menginterogasi saat kami berdua sudah ditinggalkan Ambar di ruang meeting. Sumpah, rasanya deg-degan. Seperti pertama kali melamar pekerjaan.

"Hampir tiga bulan, Bu."

"Betah?"

"Banget, Bu. Kerjaannya variatif dan menantang. Saya banyak belajar hal-hal baru di sini." Ups, terlalu bersemangat. Aku lanjut berdeham sembari mengingatkan diri untuk menjaga sikap. Setelah membuat masalah dengan Pak Bos di hari pertama bekerja, membuat masalah lain adalah hal terakhir yang kuinginkan.

"Lingkungannya gimana?"

"Menyenangkan, Bu. Orang-orangnya juga asik." Sembari menjawab, tanpa sadar senyumku mengembang. Wajah dari rekan kerjaku satu per satu melintas di benakku. Hingga ketika wajah Kevin muncul, aku bergidik ngeri. Dia adalah salah satu sumber masalah lain yang membuat Pak Bos memperlakukanku seolah virus mengerikan. Harus dihindari.

"Semua orangnya asik...?" Bu Kirana sepertinya merasa perlu meyakinkan karena senyum wajahku berubah menjadi kecut. Oh, seharusnya aku tidak perlu bergidik hanya karena mengingat Kevin.

"I-iya, Bu." Di saat-saat seperti ini, aku sangat menyesali ketidakmampuanku dalam berbohong.

Bu Kirana tertawa kecil. "Kenapa jawabnya jadi terbata-bata gitu? Kamu takut saya akan mengadu ya? Tenang aja, saya bisa jaga rahasia kok. Siapa yang nyebelin?" Bu Kirana menunduk ke dekat telingaku, lalu berbisik. "Dhisan, ya?"

Mati!

Bu Kirana sudah menegakkan punggungnya kembali, menunggu jawab dariku dengan wajah berseri. Aku bisa saja mengangguk karena Pak Bos memang nyebelin, seganteng apapun dia, sesuka apapun aku kepadanya, tetap aja sikapnya memang nyebelin. Tapi aku seharusnya menggeleng. Yang benar saja! Mana mungkin aku menggosipkan Pak Bos dengan ibunya sendiri? Alhasil, kepalaku hanya bisa kaku.

Bu Kirana malah tertawa senang melihatku kebingungan. "Kerja yang betah di sini ya, Sheza. Kamu akan jadi salah satu andalan saya. Bisa kan?"

Menelan ludah susah payah, aku mengangguk ragu.

"Tugasnya nggak susah kok. Cuma ... tolong bantuin saya buat ngecek isi kulkasnya Dhisan aja. Kalau kosong, tolong diisi lagi. Kalau isi kulkasnya nggak disentuh...," Bu Kirana mendadak mellow. "artinya Dhisan lagi dalam masalah," bisiknya pada dirinya sendiri. Lalu mengubah suaranya menjadi normal saat beradu pandang denganku. "Kalau isi kulkasnya nggak disentuh, kamu tinggal hubungi saja aja, nanti biar saya datang dan periksa kondisi Dhisan langsung."

"Tapi, Bu—"

"Iya, saya tahu anak saya emang nyebelin. Tapi gimanapun juga saya ini seorang ibu. Saya ingin memastikan dia baik-baik saja."

"Iya, Bu. Saya mengerti. Tapi—"

Tangan Bu Kirana menyentuh lembut punggung tanganku yang teronggok di atas meja. "Please...," bujuknya dengan mata berkaca-kaca. "Penuhi permintaan seorang ibu yang lemah dan tidak berdaya ini...."

Sentuhan hangat Bu Kirana, juga perhatiannya untuk sang putera membuatku mendadak merindukan sosok ibu yang sudah lama tidak kurasakan. Untuk itu aku menyanggupi.

Dhisan Azriel

"Udah berapa lama pola makan kamu berantakan?"

"Nggak berantakan kok, Ma. Aku minum susu. Sesekali gofood. Aku kan bukan anak kecil lagi, Ma. Udah bisa ngurus diri sendiri."

My Gift is My CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang