Di Hari Hujan

16 2 0
                                    


Dua minggu lalu, aku berjalan di jalan tempatku berpijak saat ini. Sebuah gang menuju rumahku. Kuingat jelas apa yang kala itu terjadi dan menjadi satu hal yang kini nyatanya kunantikan.

Hari itu, tepat saat jam tanganku menunjukkan pukul 4 sore, perjalananku untuk pulang tinggal belasan  meter lagi. Dan untuk itu aku tak keberetan diguyur hujan karena payung yang kumekarkan sudah melindungi badanku.

Namun tidak dengan perempuan itu. Ia berjalan dengan pasti dari arah berlawanan. Kulihat dari jarakku saat itu dan tau bahwa dirinya juga seorang siswa sama sepertiku. Tak ada payung ataupun jas hujan yang melindungi dirinya kala itu. Hanya setelan hoodie merah tua yang ia kenakan dan menutup kepalanya.

Seraya berjalan, kuperhatikan sosoknya dalam diam hingga tersadar aroma hujan yang sejak tadi kubaui lenyap ntah sejak kapan, terdistraksi oleh sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih penting.

Jarak kami mulai dekat sehingga degup jantungku tiba-tiba mengencang dan aku yakini ada sesuatu yang salah.

Pada jarak itu, kulihat wajahnya. Tak berekspresi. Helai-helai rambutnya menggantung di antara kening dan kedua matanya, dibiarkan terhuyung digilir tetes hujan yang memang tidak begitu lebat.

Menggunakan sneaker hitam, kakinya berjalan pasti. Dan beriringan dengan itu, pandangannya pun ikut terfokus pada jalanan di depan. Mata itu tak melihat siapapun yang melintas lewat, termasuk diriku yang bertemankan payung kuning.

Haruskah aku berikan payungku? Gumamku dalam hati kala itu.

Sebagai pria, ada perasaan tak enak melihat seorang perempuan basah kuyup dimakan air sedangkan aku kering kerontang mengendap di balik lebar payung.

Dalam hitungan detik, keputusan itu bulat, Ya. akan kuberikan, syukur kalo dikembalikan.

Pada jarak beberapa meter, aku bersiap menawarkan payungku. Tetapi, seakan menjadi sebuah rintangan, tepat pada jarak dua meter, tubuhku mematung.

Ntah apa yang membuatku membisu ketika melihat raut wajahnya. Sebuah lukis keindahan yang dipoles kepedihan terpampang jelas pada wajah itu. Paras cantik sekaligus mengandung sedih yang tak berkesudahan.

Bibirku tak mengatup dan diam seribu bahasa. Mengikut itu, tubuhku mengikut terpaku. Terhenti bagai detik jam kehabisan daya. Langkahku berhenti total, diikuti dunia yang seakan melambat.

Apa yang terjadi?

Aku bahkan bertanya pada diriku apa alasan di balik sikapku kala itu. Namun yang pasti kuingat, adalah gambaran siluet pada wajah perempuan itu. Ditetes air hujan, bibirnya tak mengatup kata-kata keluh atau sekadar kesal karena payung yang terlupa dibawa.

Ditetes air hujan, kedua pipinya merona seakan sedang dipuji dan diberi kelugasan. Dan satu hal yang paling mencolok. Di tetes air hujan, kedua matanya tampak bebas meski terpaut memandang kekosongan.

Kedua matanya diairi gerimis yang mulai berhenti. Mengucur basah seperti habis mandi dan tak lekas dikeringkan. Bersamaan dengan tetes gerimis, kutebak ada yang mengikut dan berpikir dapat membodohi siapapun yang memandang.

Aliran asin yang seharusnya tidak berada pada tetes hujan di manapun, termasuk sore itu. Aliran itu seakan berwarna pekat, menandakan ada perbedaan jelas pada penyebab air itu mengalir. Bagaimanapun, aku sadar bahwa ia berusaha berbohong pada dirinya.

Kesiapan akan pedih yang diterima seakan keluar tanpa sadar mengikut fenomena alam yang menjadi kambing hitam.

Bukanlah tetes hujan yang mengalir dari pelipis ke pipi empuknya. Itulah bukti bahwa dunia ini masih terasa kejam dan tak berpihak. Perempuan itu berjalan melewatiku tanpa melirik sedikit pun.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 18, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Di Hari HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang