🍂 Bagian I 🍂

3.1K 488 360
                                    

        Isak sedu sedan lolos dari celah bibir tipis. Seorang anak laki-laki menangis di bawah pohon mastik. Pundaknya bergetar samar dan kelopak jelaga bambinya membengkak karena terlalu lama menangis. Tubuh kecilnya tertutupi oleh rimbun dari ranting dedaunan mastik.

        Sudah bermenit-menit ia menitihkan air mata, tetapi tak kunjung usai. Semua ini karena ia merasa terkucilkan oleh kawan seumurannya. Mereka mengejeknya dan mengolok darah yang mengalir di dalam nadinya, yaitu darah setengah Dewa.

        Mereka, anak manusia menganggapnya aneh. Karena ia selalu bisa mengungguli kemampuan batas normal. Padahal ia hanya berusaha menjadi dirinya sendiri, tetapi anugerah yang mengalir dalam tubuhnya ternyata membuatnya dianggap berbeda.

        "Kenapa kau menangis?"

        Tangis yang semula menderas, kini terhenti oleh kalimat tanya yang datang secara tiba-tiba. Wajah yang tenggelam di antara pelukan lutut sontak mendongak, dan langsung bersirobok dengan netra keabuan yang mengerjap-ngerjap lucu. Di hadapannya tengah terduduk seorang bocah laki-laki, mungkin berusia lebih muda darinya, menatap dengan pendar keingintahuan.

        "Oh!! Kau terluka!" pekik bocah asing berpipi gembil. Ia menatap panik pada luka di atas permukaan lutut. Luka yang sebenarnya akan sembuh dalam hitungan menit atas kemampuan darah setengah Dewa.

        "Jangan menangis lagi, aku akan menyembuhkannya!" bocah itu kembali berseru, intonasinya riang sarat keluguan. Ia menunduk, lalu mengecup luka dari anak laki-laki yang sempat menangis.

Chup!

        Ajaibnya luka yang bergerak menutup perlahan, sekarang menjadi jauh lebih cepat merekat dalam hitungan detik. Menjadi sembuh sempurna tanpa goresan sedikit pun.

        "Uwaah?! Sudah sembuh!!" bocah bermanik abu bertepuk-tepuk tangan. Rupanya keajaiban yang diucapkan ibunya mampu bekerja dengan baik. Ketika ia terluka, ibunya selalu memberikan kecupan penyembuh, dan sepertinya kemampuan itu juga bisa dilakukannya.

        "Sudah sembuh, jadi jangan menangis lagi! Oh iya, aku-"

Srak!

        Perkenalan singkat terputus oleh desik ranting yang beradu. Dua bocah kecil menengadah dan mendapati seekor burung hantu bertengger di salah satu dahan terlebar. Jika dipikir-pikir, aneh juga melihat burung hantu di siang yang terik ini.

        "Huuuh... ibu selalu bisa menemukanku!" gerutu dengan sungutan lucu tergaung setelah beberapa menit. Bocah kecil berpipi gembul mencebik tidak terima karena persembunyiannya telah diketahui oleh sang Ibunda.

        "Baiklah, aku akan pulang, huft!" Lantas tangan mungilnya terangkat melambai kepada anak laki-laki yang tidak membuka mulutnya sedikit pun.

        "Sampai jumpa!!"

        Kaki-kaki kecil melecut cepat. Ia berlari antusias bersama burung hantu berbulu cokelat keemasan yang terbang di atas kepalanya. Tawa menggemaskannya meledak hingga merasuk ke dalam rungu lainnya.

        "Ambrosia...."

        Akhirnya bibir yang sebelumnya terisak mulai membuka suaranya. Ia menatap punggung kecil yang bergerak menjauh. Penciumannya menangkap semerbak aroma pekat yang menjadi simbol anugerah di dalam aliran nadinya, simbol sejak pertama kali terlahir di dunia fana.

        Ambrosia....

        Sebutan itulah yang akan ia gunakan pada bocah bermanik abu yang pergi tanpa meninggalkan setitik nama.

🍂 Ambrosia 🍂 》KookMinWhere stories live. Discover now