Bel jam istirahat baru saja berbunyi. Anak-anak bersorak, kemudian dalam sekejap, semua lorong kelas sudah dipenuhi anak-anak yang berlarian ke kantin.
Jiyu tidak tertarik. Ia menopang dagu sambil melihat awan super besar yang mirip kapas. Ia pernah tanya pada Paman Xiaojun, apakah bisa tidur di atas awan? Lalu katanya, awan itu tidak padat seperti kapas. Juga tidak empuk seperti kasur. Tapi sepertinya seru juga kalau tidur-tiduran di atas kasur yang sebesar awan. Yang lembut, empuk, lalu ditemani semilir angin yang berhembus.
Aduh, Jiyu jadi mengantuk!
"Kenapa tidak jajan?" Tanya Nana, teman satu kelasnya. Di tangan anak itu sudah ada susu pisang, roti manis isi selai cokelat dan sebungkus cookies yang sudah dimakan setengahnya.
"Jiyu bisa minta," katanya santai. Lalu mencomot satu cookies dan melahapnya.
"Sama-sama," Nana menyahut sarkas, karena temannya itu tidak meminta izin. Apalagi berterima kasih.
"Tanganku pegal, Nana..." Keluh anak itu. "Kemarin Papa menghukumku."
"Kenapa?"
"Karena aku membuat Nuna pengasuh berhenti kerja. Padahal aku hanya bercanda." Anak itu mendengus pelan, lantas menceritakan tentang masalah kemarin.
Nana menggeleng pelan. "Ayah juga pasti akan marah besar. Ayahku kalau sudah mengomel berisiknya- uh, aku tidak mau membayangkan."
"Tapi 'kan Paman Na baik?"
"Tentu saja ayahku baik. Memang ayahmu tidak?"
"Hmm, Papa Jiyu..." Anak itu kembali memandang awan di langit. "Papa sibuk. Jiyu benci."
"Jadi, lebih dekat dengan mamamu?" Tanya Nana. Pipi gembilnya bergerak-gerak ketika anak itu mengunyah roti.
Mendadak mata Jiyu menjadi panas. Ia sudah lama sekali tidak bertemu dengan mamanya.
Selalu saja. Setiap kali Hendery menghukum Jiyu, anak itu jadi merindukan mamanya. Mau menghubungi saja harus izin Papa dulu. Anak itu jadi tidak tahu harus bagaimana menuntaskan rasa rindunya.
Jiyu berdecak kesal. Dahinya berkerut dan bibirnya mengerucut. "Nana bertanya karena tidak tahu, atau sengaja mau buat Jiyu sedih dan marah?"
"Eh?"
"Kata Ibu Guru kalau membuat teman sedih dan marah bukan perbuatan yang baik. Berarti Nana bukan anak yang baik! Huh!"
Anak usia tujuh tahun itu menelungkupkan wajah di atas meja dengan lengan sebagai alasnya. Tidak peduli dengan Nana yang kunyahannya melambat karena jadi tidak nafsu setelah melihat Jiyu marah.
*****
Begitu pemilik Huang Group itu berjalan melewati pintu masuk, semua karyawan yang sudah siap di posisi membungkuk hormat seraya mengucapkan selamat datang. Usianya yang sudah memasuki pertengahan enam puluh malah membuat sosok itu semakin berkarisma.
Pribadinya menyenangkan. Tidak pernah membeda-bedakan posisi karyawannya, tidak pelit membagi ilmu dan pengalaman hidup pada siapapun, dan selalu ada hal yang menginspirasi ketika bicara dengannya. Maka, tidak heran jika karyawannya dengan senang hati menyambut, meski yang disambut tidak meminta.
"Kenapa ramai-ramai begini? Lebih baik bekerja saja daripada mengadakan acara penyambutan!" Katanya protes. Mungkin hanya Tuang Huang yang malah mengomel ketika melihat belasan karyawan sudah berjajar rapi untuk menyambutnya.
Sekertarisnya hanya tersenyum simpul, kemudian mempersilakan Tuan Huang berjalan duluan.
Hari ini, ia akan menemui anak bungsunya secara langsung alih-alih mengirimkan kabar mengenai proposal yang diajukannya kemarin. Ada hal lain yang ingin ia bicarakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dehiscent
FanfictionHuang Hendery percaya bahwa hidupnya sempurna. Terlahir dari latar belakang keluarga yang baik, memiliki karir yang sukses, dan menikah dengan Jung Jina seakan menggenapkan kesempurnaan hidupnya. Namun, dunianya yang sempurna itu sudah luluh lantak...