11: Mangsa Pertama

207 16 2
                                    

Semalam terjadi sesuatu yang menggemparkan. Menurut penuturan warga, mereka mendengar bunyi dentuman. Diduga suara dentuman berasal dari areal pemakaman. Warga yang resah melapor ke para penggali agar makam diperiksa. Sementara Abel dan Rangga, yang terpaksa menginap di rumah mereka sudah harus pamit dan bertandang ke kediaman Pak RT untuk mencari tempat tinggal.

"Sudah mau pergi, Mbak, Mas?" tanya Jaka.

"Iya, terima kasih sudah mengizinkan kami menginap," sahut Rangga.

Hanya menyisakan punggung mereka, Jaka diam-diam merasa kasihan, terutama kepada istri si lelaki. Semalam Abel dilempari pasir oleh wanita yang mereka tolong. Merunut dari kejadian itu Jaka jadi curiga, sebab mungkin saja bukan demit yang berada di semak-semak semalam. Bisa jadi itu wanita buruk rupa seperti yang diceritakan Rangga.

Dituntun seorang warga, Abel dan Rangga menuju kediaman Pak RT. Rumah Pak RT sederhana, namun enak dipandang. Di samping kiri teras terdapat kursi panjang dan macam-macam tumbuhan dalam pot. Beratapkan seng, dinding rumah kayu itu dilapisi cat warna hijau telur asin. Begitu tiba di sana, mereka disambut oleh istri Pak RT, yakni Surtiyem.

"Ada keperluan apa kemari?" tanya Surtiyem.

"Pak Sucipto-nya ada, Bu? Ini ada tamu dari kota, ingin cari rumah sewa."

Surtiyem mengangguk, kemudian memanggil Pak RT yang pagi itu sibuk menekuri ayam-ayamnya. Pasangan suami istri itu dipersilakan menunggu, sementara Surtiyem membuat teh hangat. Sucipto, atau lebih akrab disebut Pak RT lalu menghampiri tamu. Sucipto mengamati Abel dari ujung rambut, hingga kaki. Entah kenapa, ia tidak asing dengan wajahnya.

"Kamu anaknya Sumarni, bukan?" tanya Sucipto.

Mendengar nama ibunya disebut, Abel balik bertanya, "Kok Bapak bisa tahu?"

Sucipto mendudukkan pantatnya ke kursi, lalu lanjut bicara, "Tentu saya tahu. Dulu saya sahabat almarhum bapakmu, begitu juga ibumu."

"Dan Mas ini siapa?" tanya Sucipto lagi.

"Saya Rangga, suaminya."

Sucipto tersenyum lebar, kemudian menyalami pria berlesung pipit itu. Sucipto senang anak almarhum sahabatnya bersuamikan lelaki tampan, juga berwibawa. Surtiyem yang baru selesai bekerja di dapur bergabung, kemudian meletakkan empat cangkir teh di atas meja.

"Pantes aku enggak asing sama wajahmu. Ternyata anaknya Sumarni, toh," timbrung Surtiyem sembari menyeruput teh miliknya.

"Jadi gimana kabar ibumu? Dengar-dengar, dia sakit keras," cetus Sucipto.

"Masih sama, Pak. Saya enggak tahu harus gimana lagi," curah Abel.

"Semoga cepat sembuh, ya," kata Surtiyem seraya menggenggam tangan Abel.

Mengenai kebutuhan tempat menginap, Rangga mengungkit perihal ada tidaknya rumah yang bisa disewa. "Jadi bagaimana, Pak RT? Apa ada rumah yang bisa kami sewa?"

"Oh, tentu ada. Kebetulan di kampung ini ada rumah yang cukup besar. Sudah bertahun-tahun tidak dihuni. Apa tidak masalah?"

"Enggak masalah, Pak. Asalkan harganya terjangkau."

"Untuk urusan harga, Sartinah yang lebih tahu karena dia yang punya tanah. Saya hubungi orangnya dulu, ya."

Rangga mengangguk, lantas membiarkan Pak RT mengobrol dengan Sartinah. Di seberang telepon, Sartinah menyetujui kesepakatan Pak RT untuk dipertemukan dengan calon penyewa. Setelah semua keperluan selesai, Sucipto dan pasangan suami istri itu pamit.

"Hati-hati, Pak!" kata Surtiyem dari ambang pintu.

*****

Warga bergerombol memadati TPU pagi itu. Mereka syok, lantaran jasad wanita hamil yang dikubur semalam berakhir mengenaskan. Bagaimana tidak, bukan perut buncit lagi yang terlihat, melainkan usus berburai. Sekujur tubuhnya gosong bak habis terbakar. Tidak berdaya meredam gejolak, Jaka memuntahkan isi perutnya. Didampingi Janar, Jaka dibawa keluar makam sementara Jali dan warga; bergotong-royong mengubur jasad sang wanita seperti semula.

Desa Terkutuk [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang