BAB 1

89 17 172
                                    

Pusat kota dapat terlihat dengan jelas di dalam gedung berlantai sepuluh itu. pemandangannya cukup menyejukkan, sebab hujan baru saja reda beberapa menit yang lalu. Jalanan basah mulai padat lagi dengan kendaraan bermotor. Di dalam gedung, penuh dengan karyawan yang sibuk bekerja di bagiannya masing-masing.

Pria itu melamun seraya memegangi bibirnya, ia berpikir keras tentang presentasi yang akan dilaksanakan, sebab materi yang akan ia bawakan tidak ada. Lebih tepatnya belum selesai.

“Alex!” panggil salah satu orang di sana. “Alex. Bagaimana rencana marketing mu?”

Alex Wijaya atau akrab dipanggil Alex masih saja sibuk melamun, melihat ke arah pelangi yang perlahan pudar terkena sinar matahari.

“Alex. Kau dengar perkataan saya tidak!” bentak orang itu.

Alex terperanjat. “Iya, Pak Toro,” ujarnya ketika sadar. “Maaf saya sedikit tidak fokus. Bisa ulang pertanyaan yang barusan?”

“Bagaimana rencana mu tentang strategi marketing tahun ini.”

Mendengar pertanyaan dari bosnya, membuat kepala Alex pening dua kali lipat dari yang tadi. Fail yang sudah digarapnya semalam belum selesai dan tidak tersimpan, akibat rumahnya mati listrik. Semua usahanya sia-sia. Sebelum ia simpan dokumen, komputernya mati dan sekarang tidak ada jalan keluar selain mengingat semua hal yang pernah ia rencanakan. “Tahu gini aku kerjakan di laptop saja,” ujarnya saat listrik mati semalam.

Alex menghela napas, ia kembali yakinkan diri sendiri untuk berbicara tanpa persiapan presentasi yang memadai.

Sialan, semua ingatanku semalam hilang! batinya. Suaranya tertahan di tenggorokan, ingatannya hamburadul, dan keringat mulai keluar dari dahinya.

Beberapa saat Alex diam. “Silakan, Alex,” kata Pak Toro.

Alex kembali menghela napasnya sebelum ia berucap dengan gugup. “Saya sudah memiliki rencana yang cukup efektif bersama dengan tim saya. Jadi yang harus kita lakukan adalah ...,” ucapan Alex terhenti, otaknya bekerja sangat keras untuk mengingat semuanya, tapi semua percuma. Badai adrenalin membuat beku isi kepala Alex.

“Yang harus kita lakukan adalah,” ujarnya lagi. Alex masih mengingat ingat seraya memperhatikan sekeliling.

“Melakukan perubahan besar. Ya ... itu yang harus kita lalukan. Kita perlu perubahan basar untuk mencapai target pasar yang kita inginkan.”

Semua orang di ruangan itu melihat Alex dengat tatapan tidak mengerti. Apa yang sebenarnya dikatakan oleh Alex. Sadar akan pembicaraanya yang ngelantur, Alex menatap ke arah temannya. Ia membuat tatapan aneh seraya menaik turunkan alisnya. Tolong bantu ngomong, dong! begitu maksud tatapannya.

Farhan temannya sendiri tidak mengerti tentang apa yang sedang dikatakan oleh Alex. Ia menjawab tatapan Alex dengan gelengan kecil. “Aku nggak ngerti kau ngomong apa,” ujarnya tanpa suara seraya mengerutkan kening.

“Oke,” ujar Pak Toro memotong. “Sudah selesai omong kosongnya? Kamu tidak membawa materi untuk hari ini, ‘kan?”
Alex menunduk. “Materi yang akan saya bawa ketinggalan di rumah, Pak. Maafkan saya.”

“Untung kamu belum bertemu klien penting dan masih bertemu saya. Kamu mau perusahaan ini jadi bangkrut?” ujar Pak Toro penuh penekanan diakhir kalimat. “Untuk semuanya meeting bisa diundur besok. Untuk yang merasa jadi tim Alex, pokonya besok saya mau mendengar kabar baik dari kalian. Jika kalian mengecewakan saya. Posisi kalian bisa terancam.”

Sialan, batin Alex menggerutu.

Semua yang ada di ruangan itu diam dan menunduk, mendengar semua ceramah yang dikatakan Pak Toro sampai beberapa saat kemudian Pak Toro berdiri dan keluar. Kini pandangan semua orang di ruangan itu tertuju pada Alex.

“Sorry, ya, teman-teman. Aku bakal bertanggung jawab, kok.”

Pak Toro memang terkenal bos yang sabar di antara yang lain. Ia selalu memberikan kesempatan untuk bawahannya untuk memperbaiki masalah yang mereka buat.

“Kau gimana, sih, Lex. Kemarin katanya semua beres dan presentasi ini bisa sukses, tapi mana? Kayak tai semua!” Beni yang bertanggung jawab atas tim marketing sangat marah besar terhadap Alex. Ia merasa gagal menyuguhkan presentasi yang baik dan ia juga marasa malu pada Pak Toro atas kinerja timnya.

“Sekarang aku nggak mau tahu, besok pagi sebelum menghadap Pak Toro kau harus suguhkan materi presentasi yang bagus. presentasikan ke aku dulu sebelum ke Pak Toro.”

Meski Alex sangat jengkel kepada Beni, ia mempu menahan itu. Alex sadar ini adalah salahnya dan ia harus bertanggung jawab atas semua yang telah diperbuatnya.

“Baik, Mas, siap.”

***

Saat pulang kerja, Alex mampir di taman kota sore itu. Ia ingin sejenak merilekskan kepalanya sebelum kembali stres nanti malam. Taman kota adalah tempat yang paling nyaman untuk Alex, di sini lah kenangan tentang ayahnya sewaktu ia kecil dulu. Tempat favorit untuk manarik diri dari rutinitas yang membuatnya sakit kepala.
Sore itu ia berkeliling mencari tempat untuk duduk. Namun, banyak bangku itu dipenuhi orang pacaran. Menjengkelkan memang, padahal ini bukan hari Minggu. Sampai akhirnya ia melihat seorang wanita duduk sendirian di bangku yang berada di bawah pohon beringin, dan ketika Alex hendak melawatinya wanita itu pergi, ia terlihat sangat terburu-buru. Tanpa berpikir panjang Alex langsung menempati tempat duduk itu.

“Mbak, minumnya ketinggalan!” Alex berdiri memanggil wanita itu, tapi percuma. Ia sudah jauh pergi.

Alex duduk kembali di tempatnya. Air botol itu tetap masih ia pegang dan tak tahu akan dibuang atau menunggu wanita itu datang untuk mengambilnya.

Taman kota itu cukup ramai oleh orang olahraga sore. Banyak wanita cantik seliweran, membuat Alex betah berlama-lama di sana. Sampai pandangan Alex tertuju pada wanita cantik yang tengah menggendong seekor kucing menggemaskan berwarna cokelat. Kucing itu dipeluk dan di elus oleh beberapa orang wanita. Mungkin teman dari wanita pemilik kucing, Alex tidak terlalu peduli, yang jelas mereka cantik semua.

”Enak, ya, jadi kucing. Dielus-elus sama cewek, dimanjain, dipeluk, nggak perlu mikir kerjaan. Ah ... pengen jadi kucing,” ujarnya seraya melamun melihat kucing itu dimanjakan oleh wanita cantik.

Lama Alex duduk di sana, tapi wanita pemilik botol itu tidak kunjung datang. Lalu ia mengamati bentuk botol yang menurutnya unik itu, ada tulisan 'jangan diminum, milik Saras’ pada kertas yang menempel di botol tersebut. Botol yang terbuat dari kaca bening dengan tutup botol yang terbuat dari kayu, persis botol yang menyimpan resep rahasia Krabby Patty di kartun SpongeBob. Namun, ada air di dalamnya juga sangat jernih. Menatapnya lama membuat Alex menjadi haus.

“Air ini kayaknya seger banget, deh. Ngicip sedikit boleh kali, ya.” Celingukan Alex menyobek kertas yang menempel di botol dan membuangnya.

Alex membuka tutup kayu dari botol kaca itu. Ada sedikit buih yang keluar sesaat ia membuka tutupnya dan tidak ada aroma yang tercium saat ia mengendusnya. “Rasanya pasti kayak Sprite,” ujarnya sebelum meminumnya perlahan.

Glek .... Sesaat kemudian matanya membulat sempurna.

“Gila!” ujar Alex, “ini rasanya kayak Sprite ekstra Arak Bali. Bisa buat temen begadang nanti malem, nih.”

Bagai anak kecil yang mendapat minuman gratis, ia memasukkan botol kecil itu ke dalam tasnya, lalu ia pergi untuk pulang.

***

Sesaat setelah Alex pergi dari tempat itu, wanita yang duduk di bangku itu kembali. Ia mencari botol kaca miliknya. Namun, tidak ia temukan.

“Mungkin dibawa pemulung. Tidak apa, lah. Toh masih ada sisa,” ujar wanita itu, “pasti orang itu hidupnya akan berubah lebih menyenangkan. Orang itu bisa sedikit bersabar lagi.”

Do You Wanna Be A Cat?Where stories live. Discover now