Dari lorong-lorong yang kosong sebuah suara yang indah menggema dari ruang musik, tidak lupa piano dengan nada yang lebut mengiringinya. Alunan lagu Deting karya Melly Goeslaw begitu menghanyutkan, menuntun sepasang kaki menuju ke ruang musik. Kaki itu berhenti di depan pintu ruang musik, memalui kaca yang terdapat di pintu si pemilik kaki memperhatikan dua manusia yang tengah terbawa suasa hingga menutup mata mereka mengikuti perpaduan indah antara piano dan suara merdu.
Janaka Bintari, seorang perempuan cantik dengan rambut coklat halus sepunggungnya. Ia merupakan salah satu dari kebanggaan SMA Gadjah Mada, selalu saja berhasil menyabet juara satu dalam setiap pertandingan nyanyi solo yang di adakan baik nasional ataupun internasional.
Tepat berada di sampingnya, seseorang yang tengah memainkan piano tidak hentinya memandangi wajah Janaka yang begitu indah di bawah lampu yang satu-satunya hidup di ruangan itu. Kavin Bayanaka, satu-satunya kekasih yang pernah dimiliki oleh Janaka di dalam hidupnya. Mereka tidak perduli betapa banyaknya orang tidak setuju akan hubungan mereka, yang mereka tahu hanyalah rasa untuk masing-masing.
Kavin terbilang cukup populer hanya saja sinarnya itu diikuti oleh fakta yang buruk tentang dirinya. Sifatnya yang kadang temperamental serta selalu merendahkan orang lain membuat banyak yang merasa manusia sebaik Janaka kurang pantas di sandingkan dengan orang sepertinya. Namun, jika saja mereka melihat pria itu memainkan salah satu dari sekian banyak alat musik yang ia kuasai ini, mungkin mereka akan mengerti betapa indahnya mereka saat bersama.
Duet berakhir dengan improvisasi Kavin. Sebuah senyuman terbit di wajah Janaka, ia mengambil tangan Kavin yang berada di atas piano lalu menggenggamnya erat. Sama dengan Kavin yang mengusap lembut punggung tangan Janaka dengan ibu jarinya.
"Ekhm, kalian mau balik ke kelas dan hitungan tiga atau ikut ke BK dan ketemu Pak Gilang dengan suka rela," ujar sebuah suara yang berasal dari pintu yang terbuka.
Seorang perempuan dengan sorot mata tajam menggerling ke arah mereka berdua, sebuah buku agenda kecil dan pena hitam yang siap mengeluarkan tintanya berada di tangan perempuan itu.
Janaka terdiam sesaat, ia merasakan genggaman Kavin mengerat membuat jarinya-jarinya terasa sangat sakit. Dengan perlahan Janaka melepaskan tangannya sembari tersenyum ke arah Kavin kemudian mendekati perempuan yang sudah menunggu mereka memilih.
"Kaea Ghera, maaf ya. Kami balik ke kelas sekarang," dengan suara lembutnya Janaka berujar.
Ia pun mengulurkan tangannya pada Kavin yang lalu berdiri menyambut tangan itu, mengikuti Janaka yang menariknya keluar.
"Tunggu, Jane. Kayaknya bukan kita aja yang harus balik ke kelas. Lo sendiri gimana, Kaea Ghera? Nggak balik ke kelas? Atau lo sengaja ngusir kami biar –"
"Gue habis dari BK, laporin anak kelas 12 yang mau bolos di asrama. Jangan pernah sekali pun lo ngebandingin gue sama diri lo," potong Kaea Ghera dengan nada penuh penekanan dan tegas.
Waktu Kavin akan kembali berusara Janaka segera menariknya pergi, "Sekali lagi maaf, Kaea. Kami pergi dulu,"
Saat berlalu mata Kavin menatap nyalang orang yang sudah mengganggu waktunya bersama Janaka. Daripada takut perempuan itu malah sedikit mengangkat dagunya, menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak merasa tersindir oleh hardikan tak berlisan Kavin.
Janaka dan Kavin menghilang di balik persimpangan lorong. Merasa tak ada lagi urusan di tempat itu Kaea pun ikut melangkahkan kaki pergi menuju kelasnya.
***
"In another definition, a company is an institution or organization that provides goods or services for sale to the public with the aim of making a profit. So, after knowing the last topic of our –"
Drrt...
Kaea Ghera memegang ponsel yang berada di dalam laci, tidak salah lagi ada seseorang yang menelfonnya. Dengan wajah tenang Kaea terus menyimak materi bisnis peminatan yang di sediakan untuk seluruh murid di SMA Gadjah Mada, tergantung pilihan masing-masing.
Ia bagun dan berjalan mendekati Miss Dimirta yang sibuk menerangkan Undang-undang Nomor 3 mengenai kewajiban mendaftarkan sebuah perusahaan.
"Is there any problem, Kaea Ghera?" tanya Miss Janetta sembari memandangnya dengan tatapan tenag.
"No, there no any problem, Miss Dimirta. I just want to ask a permission for the bathroom," Kaea menjawab dengan tanpa ragu yang kemudian ditanggapi dengan anggukan oleh Miss Dimirta.
Dalam perjalan menuju toilet tak henti-hentinya ponsel Kaea bergetar, kakinya semakin cepat seiring banyaknya panggilan yang masuk.
Setibanya di toilet ia segera membanting pintu hingga tertutup, tak lupa memeriksa seluruh bilik, apakah ada sepasang kaki yang terlihat di bawah pintu. Begitu yakin bahwa dirinya hanya sendirian berada di tempat itu akhirnya Kaea pun menghidupkan ponselnya.
Beberapa panggilan tak terjawab terlihat di layar utama. Tak sampai semenit seseorang kembali menelfonnya dengan nama, 'Mama'.
"Kaea! Kamu kenapa dari tadi nggak angkat telefon, Mama? Kamu nggak apa-apa, kan?" Seru Mama Kaea Ghera begitu mereka tersambung.
"Maaf, ma. Tadi Kaea lagi di dalam kelas. Emangnya kenapa Mama, nelfon?"
Mama Kaea terdiam, beliau tidak mengatakan apapun. "Ma?"
"Kaea, Mama boleh minta pinjam uang kamu lagi?"
Tangan Kaea yang berada di meja wastafel terkepal, wajahnya seketika berubah datar. "Untuk apa, Ma?" tanyanya berusaha untuk menetralkan pitar suaranya yang bergetar kesal.
"Untuk uang kuliah Kakak-kakakmu, Kae. Tinggal beberapa hari lagi sebelum pembayaran terakhir. Kalau bukan karena Nenek –"
"Iya nanti aku kirim," potong Kaea cepat, suara teriakannya tertahan di ujung tenggorokannya.
"Kamu nggak marah, kan? Kalau kamu nggak bisa –"
"Aku kirim, Ma," Kaea berujar dengan penekanan, ia tidak suka dengan orang yang mencoba untuk membuatnya berubah keputusan. Kaea tidak suka dengan orang yang plin-plan. Sekali iya berarti iya, sekali tidak berarti tidak.
"Kalau gitu aku tutup dulu, Ma. Aku harus balik ke kelas,"
Tanpa menunggu jawaban dari sang Mama Kaea lansung memutuskan sambungan. Ia tahu itu merupakan hal yang sangat tidak sopan tapi, itu lebih baik dari pada wanita walah 50-an itu harus memutuskan panggilan setelah mendengar Kaea meninggikan suaranya.
Rasa sakit di dadanya ia salurkan ke kedua tanganya yang terkepal di atas meja wastafel. Tangan kirinya yang menggenggam ponsel mulai memucat, tepian pelindung layar yang sebenarnya tidak terlalu tajam berhasil mengiris jari-jari Kaea. Giginya saling beradu menekan satu sama lain. Semua emosi yang terkumpul akhirnya ia salurkan melalui pukulan pada meja wastafel. Tidak hanya sekali tapi berkali-kali, sampai akhirnya kesadarannya kembali dan rasa sakit yang luar biasa mulai terasa di tangannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
EGLANTINE
Mystery / ThrillerKaea, Janaka, dan Kavin Ada lingkaran terkutuk yang membuat mereka terus saja terlibat satu sama lain. Kaea yang ingin menyeret Kavin keluar dari sekolah tercintanya, Kavin yang tidak pernah berhenti membuat masalah, dan Janaka yang akan selalu ada...