1

6 0 0
                                    

"MINGGIR!"

Seluruh perhatian termasuk Kaea Ghera yang baru saja berjalan memasuki kantin seketika tertuju pada segerombolan murid kelas 11 yang di ketuai oleh Kavin, lalu ada anak-anak kelas 10 yang duduk terdiam di tempat mereka.

Sebagai sekolah berbasis internasional kantin Gadjah Mada memiliki gedung kantinnya sendiri. Dengan ukuran tidak jauh berbeda dengan restoran di mal-mal besar, kantin Gadjah Mada di beri nama Imple Cerebrum atau disingkat dengan Ice. Memiliki interior yang sangat memanjakan mata dengan perpaduan perabotan putih dan biru serta lantai berwallpaper kayu abu-abu.

Semuanya terasa sangat sesuai dengan murid-murid Gadjah Mada yang berprestasi serta bertata krama. Namun, tidak dengan Kavin dan teman-temannya. Bukannya kasar apalagi tidak menghormati, hanya saja sikap Kavin dan teman-temannya sudah benar-benar memuakkan. Tidak hanya Ghera melainkan juga denga murid-murid lainnya.

"Gue hitung dari satu sampai tiga. Kalau kalian nggak minggir juga –"

"Gue hitung dari satu sampai tiga. Kalau kalian nggak pergi dan berhenti ganggu mereka, bukan di kantin tapi kalian bakalan duduk di ruang BK,"

Kavin mengeratkan gerahamnya, tanpa perlu berbalik ia sudah tahu siapa yang berani memotong ucapannya. Dan benar saja, dibelakangnya sudah berdiri Kaea Ghera dengan wajah yang tegas dan matanya yang tajam.

Semua orang di sekolah ini sudah mengetahui betapa besarnya perpusuhan antara Kea Ghera dan Kavin. Mereka diibaratkan sebagai api dan air, matahari dan bulang. Tidak akan pernah bisa bersatu.

Kaea tidak seperti yang banyak orang lain pikirkan. Ia memang tegas, disiplin, dan sangat-sangat taat pada aturan. Tiga sifat utamanya inilah yang menjadi alasan mengapa ia bisa menjadi ketua dari Gading, organisasi keamanan di Gadjah Mada meskipun saat itu ia masih anak kelas 10 semester dua. Karena jabatannya yang sudah membuat murid-murid takut lebih dulu mereka jadi tidak menyadari sisi lain dari Kaea.

Bagi Kaea ada tiga jenis peringatan. Yaitu, peringatan pertama, hanya sekedar ucapan lisan. Peringatan kedua, sekali lagi hanya secara lisan lalu ditambah sedikit ancaman. Dan yang terakhir, peringatan ketiga, Kaea tidak akan segan-segan mencatat nama kemudian menyerahkannya kepada BK.

Sedangkan, untuk Kavin. Bukan lagi peringatan pertama bahkan ketiga, ini sudah peringatan ke 35-nya selama bersekolah di Gadjah Mada. Mungkin akan lebih banyak lagi jika saja Kaea mengikutinya kemana-mana.

Satu-satunya alasan kenapa Kavin masih bisa berada di sekolah ini adalah karena perempuan yang tengah terburu-buru lari menghampiri mereka memberikan jaminan kepada guru-guru bahwa selama kelas 11 ini Kavin akan mulai merubah sikapnya.

"Kavin, kita makan di sana aja, masih kosong, kan?" ujar Janaka berusaha untuk agar nafasnya tidak lagi terengah-engah. Ia menunjuk ke arah meja yang berada di pojok kantin, berada sangat dekat pada dinding kaca yang membuat siapapun lansung dapat melihat ke lapangan berumput hijau yang luasnya hampir setara dengan luas lapangan bola dengan jajaran berndera berbagai negara yang mengelilingi.

Suasana perlahan mereda sewaktu Janaka menuntun Kavin untuk pergi menuju meja mereka. Sama halnya dengan Kaea, ia dan beberapa teman satu organisasinya berjalan menuju ke bagian khusus murid yang berpartisipasi dalam tiga organisasi utama. OSIS yang biasa di panggil Centrum, organisasi Kesehatan yang dipanggil Vestigia, dan yang terakhir Gading.

***

Di sepanjang makan siang Kaea hampir tidak melepaskan pandangan dari ponselnya, itu sangat bertolak belakang dengan apa yang selama ini ia tekankan kepada teman-temannya. Uang untuk kedua kakaknya sebenarnya sudah terkirim semenjak 10 menit lalu tapi, entah mengapa kali ini Kaea tidak ingin melepaskan benda yang bisa mengganggu penglihatan itu.

"No hay teléfono en la mesa, mi querida amiga*," komentar Clarinda sambil mengambil ponsel Kaea kemudian meletakkannya jauh dari jangkauan Kaea.

Kaea tersenyum canggung, bagaimana bisa ia melanggar peraturannya sendiri di depan orang-orang yang percaya padanya. "Sorry, tadi ada sedikit masalah,"

Clarinda lansung menyentuh bahu Kaea dengan panik, "Tapi, semuanya udah okay, kan? Kamu perlu ponsel kamu lagi?"

Kaea menggeleng pelan lalu melanjutkan makannya. Clarinda tahu bahwa ada sesuatu yang salah saat ini pada Kaea. Tentu saja ia perduli dan sangat penasaran akan apa yang terus mengganggu pikiran sahabatnya itu, namun ia tahu seorang Kaea Ghera yang sering mendengar keluh kesah orang lain itu tidak akan pernah menceritakan masalahnya. Alhasil Clarinda hanya bisa menghela nafas kemudian melanjutkan makannya.

BRAAK!!!

Suara hantaman itu membuat Kaea berhenti mengaduk-aduk buburnya dan beralih pada meja yang berada di ujung kantin. Lagi, lagi, dan lagi. Kavin tidak pernah membiarkannya tenang walau hanya sebentar. Terlalu berlebihan? Well, menurut Kaea menyiram seseorang dengan semangkuk mentega cair lebih keterlaluan dari apa yang akan ia lakukan.

Kaea meminum seluruh air yang berada di dalam gelasnya, kuah bubur yang sengaja di pisahkan ia bawa menuju Kavin yang masih saja memaki perempuan kelas 10 yang entah punya salah apa padanya.

Kavin tersenyum sinis melihat kedatangan Kaea yang berjalan cepat ke arahnya. "Wah, pahlawan kesiangan Gadjah Mada –"

"KAEA!!"

Tak mendengarkan teriakan Clarinda tangan Kaea lansung melemparkan air di dalam mangkok ke wajah Kavin. Kaea tahu pria itu tidak akan terluka, kuah itu sudah dingin.

"Perlu lo tahu, Kavin Bayanaka. Selama ini gue selalu memperlakukan setiap orang dengan hormat. Tapi, untuk lo, rasa hormat gue udah nggak ada lagi," Kaea berujar dengan tenang namun, arogan. Ia berucap tanpa perasaan karena ia tahu, mau pakai rasa atau tidak Kavin tidak akan pernah mendengarkannya.

Sementara Janaka sibuk membantu Kavin yang masih terdiam untuk mengeringkan pakaiannya, Kaea Ghera membantu perempuan yang terduduk di lantai itu sembari terus menangis. Clarinda berlari kecil ikut membantu adik kelasnya menjauh dari Kavin.

"Lo kenapa, sih? Selalu aja ceramahin gue –"

Kaea berbalik, "Bukan cuma lo aja, semua murid yang nggak mematuhi peraturan juga gue kasih peringatan. Tapi, khusus untuk lo udah nggak ada lagi pengecualian, gue nggak peduli seberapa percaya guru-guru sama Janaka sampai-sampai masih ngebiarin lo sekolah di sini," ia berujar tenang dan tidak perduli akan aura intimidasi yang di keluarkan oleh Kavin.

Sesaat hening, membuat Kaea berpikir masalah kali ini sampai disini. "Ok, kalau itu alasan lo. Tapi, menurut gue lo punya alasan lain,"

Kaea kembali berbalik, memandang Kavin dengan tatapan malas. "Emang gue butuh alasan apa lagi untuk narik lo ke BK. Jangan –"

"Lo masih suka, kan sama gue?"

***

*Tidak boleh ada telefon di meja makan, temanku tersayang

EGLANTINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang