G.I.H {1}

14 2 0
                                    

Bagiku...hembusan angin membawa kesesakan tersendiri bagi jantungku. Kerongkonganku begitu dingin, dan begitu panas bilamana aku harus berteriak, dan merintih untuk kesekian kalinya.

Nyiur gesekan daun-daun kering begitu luar biasa bisingnya di malam hari. Awan kelabu di iringi oleh sebuah guntur-guntur kecil, bagaikan pertanda buruk bagiku. Bahkan semerbak tanah basah, begitu menyita pasukan oksigenku.

Aku lelah, bilamana aku harus mendengar ini semua...

"ZAURA, AKHIR-AKHIR INI NILAIMU MENURUN. KENAPA? KAU BERMAIN SETELAH PULANG SEKOLAH TANPA SEPENGETAHUAN AYAH DAN IBU?"

"ZAURA, INGAT! KAMU ITU PUTRI TERTUA DI KELUARGA INI. KAU HARUS BISA MENJADI CONTOH YANG BAIK BAGI ADIKMU. JANGAN SEPERTI INI. KAU ITU HARAPAN KELUARGA"

Berisik...berisik...aku muak dengan setiap teriakan serta bentakan yang dilayangkan oleh kedua orang tuaku. Rasanya telingaku panas. Tidakkah mereka melihat keadaanku? Aku tuh lelah jika harus menjadi anak yang serba bisa dan sempurna.

Ibu yang perfeksionis. Ayah yang keras. Adik yang tak bisa di andalkan. Ah, coba lihat itu. Tatapan mereka begitu berbeda-beda. Memandang rendah, menggap diriku bersalah, dan...

"Cih, yang benar saja br*ngs*k," gumamku tidak percaya saat melihat lengkungan tipis di bibir adikku yang seolah tidak merasa bersalah atas keadaanku saat ini.

Plak

"Jaga bicaramu, ZAURA"

Panas, rasanya pipiku panas dikala tangan ibuku mendarat dengan begitu menyakitkan di sini. Bahkan aku bisa merasakan denyutan yang begitu menyakitkan di pipiku.

Nyut

Mataku yang tengah berlinang buliran air ini bisa melihat tatapan hina yang menyakitkan itu. Akh, aku muak.

Sret

Tap...tap...tap

"Zaura, kamu mau kemana?"

"BERISIK. NAMAKU AUZORA! AKU BUKAN AZAURA!"

Blam

Dan suara pintu kamarku, menjadi akhir dari segala siksaan kalbu yang menyakitkan.

Aku terduduk di lantai. Memeluk kakiku, seolah hanya dirikulah yang memeluk angin. Menangis, sembari menyembunyikan kepalaku disela-sela lipatan siku.

"Hiks...hiks...hiks..."

Tenang, tenang, tenang. Seakan ketenangan ini memelukku. Kamar yang gelap gulita saat lampu di malam hari tak menyala, kini menyambut kehadiranku.

Sesungguhnya aku bukanlah salah satu dari nyctophile, tapi aku adalah satu satu dari sekian banyak orang yang mengalami nyctophobia.

Aku tahu, ini menakutkan. Tapi bagaimana jika tempat yang menakutkan ini adalah ruangan paling teraman dan tentram yang menjadi penyekat antara diriku dengan dunia luar? Sungguh, aku tidak bisa memikirkannya lagi.

Sudah berkali-kali aku diperlakukan seperti ini oleh orang tuaku. Mereka terus membandingkan diriku dengan kakak kembarku yang bernama Azaura.

Setelah kakakku tiada (bunuh diri) 2 tahun yang lalu akibat stres berkepanjangan di bawah didikan orang tuaku, kini akulah yang menggantikan posisinya.

Dikala ini aku mengerti penderitaannya, setelah merasakan langsung perasaan yang benar-benar menyakitkan itu.

"Kak Zaura...kenapa kamu meninggalkan aku sendirian di sini? Harusnya...hiks...kamu bawa aku juga"

Penyesalan terberat bagiku adalah....aku tidak mati bersama Zaura. Padahal hari itu, tapat di saat kami masih berada di bangku kelas 10....kami sama-sama berada di ujung tali keputus asaan.

Garis Imajiner HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang