Bab 1 - Lentera Itu Bersinar dari Kejauhan

14 5 3
                                    

Angin malam berhembus kencang, rinai air hujan pun berjatuhan membasahi dahan-dahan di hutan yang begitu gelap.

Kaki kecil itu dipaksa berlari dan terus berlari memercikkan air di tanah dalam setiap langkahnya. Napasnya menderu, tanpa henti dan terburu-buru ditarik naik turun dengan dadanya yang sesak karena terus terisak. Mata gelapnya berkilauan di kegelapan, namun, air bening yang jatuh dari mata indah itu malah membuatnya tampak makin memilukan.

Anak laki-laki kecil itu adalah Yagra. Umurnya mungkin baru saja menginjak delapan atau sembilan pada tahun ini. Dengan tanpa alas kaki, dia terus berlari menyusuri hutan yang berada tepat di perbatasan yang sepi itu.

Dalam pelariannya, ucapan kedua orang tuanya seolah terus terngiang-ngiang dibawa oleh setiap hembusan angin dan melewati pikirannya.

Usianya sudah cukup untuk melakukan itu, apa lagi yang kau tunggu?

Aku mohon, tunggulah beberapa tahun lagi

Kau ingin menunggu sampai Egra meninggal? Apa kau lupa, dia itu dilahirkan hanya sebagai penyambung hidup kakaknya!

Sabarlah, Egra akan baik-baik saja dalam beberapa tahun lagi. Lagipula dia masih dalam masa pertumbuhan, kalau jantungnya ditransplantasikan sekarang, aku takut itu malah membahayakan mereka berdua.

Kau ini kenapa? Tentu saja Egra tak akan kenapa-kenapa, tapi Yagra kan memang ....

Yagra sekonyong-konyong terjatuh, kalimat selanjutnya hilang dalam bunyi petir yang menyambar. Kakinya yang telanjang menginjak tepat pada tanah liat yang licin. Entah kemana jatuhnya sendal yang ia pakai tadi. Pikirannya yang kalang kabut bahkan tak sempat lagi memikirkan hal sekecil itu.

"Transplantasi jantung ... transplantasi ...." Mulutnya terus menggumamkan kata-kata yang menjadi mimpi buruknya itu.

Dia tidak bodoh, sesaat setelah dia mendengar ucapan ayahnya yang mengatakan kalau dia hanyalah penyambung hidup kakaknya, dia sudah sangat curiga. Dengan smartphone di tangan, dia langsung mencari arti kata 'transplantasi' yang diucapkan ibunya di internet.

Guntur langsung memecah di langit-langit, tangannya yang memegang ponsel langsung bergetar dan ponsel itu nyaris jatuh. Dari balik dinding pemisah, kedua orang tuanya masih terus lanjut berdebat. Alih-alih meminta kejelasan, Yagra kecil justru pergi melarikan diri dari rumahnya. Hingga tanpa sadar ia akhirnya tiba di tempat ini. Sendirian, ditemani hujan dan guntur.

Seluruh tubuhnya kini basah kuyup. Baju dan celananya kotor terkena tanah liat yang lengket. Tampaknya dia tak ada keinginan lagi untuk bangkit. Dengan punggung yang menghadap ke langit, dihantam hujan tanpa henti, dia tidur menelungkup di tengah-tengah hujan dan hutan yang gelap. Menangis, terisak, tapi tak sanggup berkata apapun.

Dia hanyalah anak yang polos, memikirkan bahwa jantung di tubuhnya akan dipindahkan ke kakaknya ... seluruh tubuhnya bergidik ngeri. Dia tahu kakaknya yang lebih tua tiga tahun darinya itu memang selalu berada di tempat tidur dan kursi roda sepanjang hidupnya. Dia tahu kalau kakaknya memang sedang sakit. Dia bahkan sangat sedih memikirkan itu. Terus bertanya pada ibunya apa penyakit kakaknya, tapi ibunya hanya mengatakan kalau kakaknya tidak parah, memintanya tidak usah cemas.

Dengan semangat membara yang kekanakan, dia berteriak di depan ibu dan kakaknya mengatakan kalau dia akan menjadi dokter yang hebat. Lalu menyembuhkan kakaknya supaya tidak perlu memakan obat-obatan yang pahit lagi setiap hari, supaya kakaknya yang tampan bisa ikut bermain dengannya.

Tapi tetap saja dia hanyalah anak-anak yang masih memiliki ego yang tinggi. Saat ibunya mengabaikannya ketika menunjukkan hasil ujiannya saja dia cemburu, apalagi harus berkorban nyawa untuk kakaknya? Sejak dia memahami dunia, dia jelas sangat ingat, ayah dan ibunya tidak pernah benar-benar memberikan perhatian lebih untuknya. Dia tidak banyak berharap pada ayahnya, tapi ibunya? Dia bahkan bisa menghitung dengan jari tangan berapa kali ibunya pernah benar-benar tersenyum padanya.

Dia benar-benar bodoh, sangat bodoh. Tentu saja mereka semua tak berharap kalau dia akan menjadi dokter dan menyembuhkan kakaknya. Tak perlu sama sekali. Mereka hanya membutuhkan jantungnya, hidupnya, untuk bisa menyembuhkan pemuda kecil yang sakit-sakitan kesayangan mereka itu.

Malam yang semakin larut membuat suhu menjadi sangat dingin. Punggung ringkih Yagra bergetar kedinginan ditambah dengan isak tangis. Semakin dipikirkan, malah semakin membuat dadanya sesak. Karena kelelahan, kesadarannya mulai memudar, matanya pun perlahan menutup.

Belum sempat kedua matanya menutup seluruhnya, langkah kaki yang membuat air terpercik terdengar kian mendekat disertai cahaya yang agak menyilaukan membuat Yagra terpaksa membuka matanya lagi.

"Siapa di sana?"

Suara itu lembut, tapi masih terdengar kekanakan. Tubuhnya yang makin mendekat membuktikan bahwa yang datang ini adalah seorang anak laki-laki dengan lentera kecil di tangan kanannya. Sementara di tangan kirinya adalah sebuah payung kertas berwarna merah cerah.

Anak itu terus berjalan mendekati Yagra. Sesekali memicingkan mata untuk melihat lebih jelas seseorang yang tergolek di atas tanah itu.

"Teman kecil, apa yang kau lakukan di sini?" tanya anak itu begitu sampai tepat di sebelah Yagra. Payung kecilnya diarahkannya untuk menutupi tubuh Yagra yang menelungkup sementara dia membiarkan punggungnya sendiri basah tertimpa hujan.

Yagra tidak menjawab, hanya menatapnya sambil menangis.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Mini teater :

Anak laki-laki yang membawa lentera : Teman kecil, apa yang kau lakukan di sini?

Yagra : Menghitung rintik hujan, Bang.

This is my second fantasy story hahaha, hope you'll like it, guys! 😘
Trigger warning akan diberikan seiring berjalannya cerita.

Lentera Bersinar di Malam HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang