"Apa kau tersesat? Ayo, ayo, kubawa kau ke rumahku." Anak itu meletakkan lenteranya di atas tanah lalu mengulurkan tangannya ke arah Yagra.
Yagra menatap uluran tangan itu sebentar, dan akhirnya balas mengulurkan tangannya.
Satu tangan itu hangat, sementara tangan lainnya begitu pucat dan dingin. Sentuhan keduanya seolah bagai magnet yang berbeda kutub, saling tarik-menarik. Aliran darah mereka seperti listrik yang disambungkan pada charger, tersambung, kemudian mengalir untuk mengisinya.
Dengan sedikit tarikan dari anak itu, Yagra menekuk lututnya dan perlahan berdiri.
Setelah benar-benar berdiri, anak itu membungkuk dan mengambil lentera yang dia letakkan tadi. "Pegang ini, biar aku yang membawa payung dan kau yang menerangi jalan."
Yagra masih tidak menjawab, tapi masih tetap menerima lentera itu.
Lentera itu tampak sangat kuno. Di dalamnya ada sebuah nyala api kecil yang tampak akan padam kapan saja. Sementara di luarnya dilapisi kaca bening yang anehnya tidak panas sedikit pun ketika dipegang lama. Di kedua sudutnya, ada kawat yang diikat untuk dijadikan pegangan di atasnya.
Anak itu sedikit lebih tinggi dari Yagra, sehingga wajar dia yang memegang payung. Saat mereka berjalan, payung itu kebanyakan menutup tubuh Yagra yang sebenarnya sudah sangat basah kuyup. Langkah kaki mereka lambat dan saling menunggu. Berjalan beriringan di tengah kegelapan malam dan derasnya hujan.
Beberapa meter di depan tampak sebuah gubuk kayu dan atap yang terbuat dari daun kelapa. Mereka berjalan semakin mendekat ke tempat itu. Melihatnya, Yagra bertanya dalam hati, Apa ini yang dia katakan rumah?
Yagra menoleh ke anak laki-laki di sebelahnya, wajah itu tampak berbinar, menatap "rumahnya" itu dengan gembira.
Tepat ketika mereka sampai di depan pintu, anak itu mengetuk pintu sambil memanggil, "Kakek, buka pintunya, ini Yizhen."
Pintu kayu berderit terbuka, menampilkan seorang pria tua beruban dan mata yang menyipit karena termakan usia.
"Kau sudah pulang? Apa kau sudah menemukan Zuya? Oh?" Wajah kakek itu tampak terkejut. "Yizhen, kenapa kau ada dua?"
Anak bernama Yizhen itu tertawa, "Kakek, aku bukannya ada dua. Anak ini aku temukan di jalan, sepertinya dia tersesat."
"Oh, ayo bawa masuk. Dia pasti kedinginan."
Yagra dibawa duduk di atas lantai tanah beralaskan tikar lapuk. Pandangannya menyusuri setiap sudut bagian gubuk ini, tidak ada banyak barang di dalamnya. Semua ada dalam satu ruangan, tanpa satupun sekat pembatas.
"Ini, keringkan tubuhmu." Yizhen menyodorkan sebuah handuk lusuh padanya. Dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajah lembut itu.
Yagra sempat agak ragu menerimanya. Melihat handuk itu, dia bahkan berpikir bahwa kain lap di rumahnya masih jauh lebih layak. Tapi tidak ada pilihan lain, dia benar-benar basah dan sangat kedinginan, jadinya dia pun menerimanya dengan enggan.
Yizhen tersenyum lagi, dia ikut duduk di sebelah Yagra dan mulai mengajaknya berbicara lagi. "Dari mana asalmu?"
Sambil menggosok-gosok rambutnya, Yagra menjawab dengan pandangan menunduk, "Aku dari kota."
"Hm." Yizhen mengangguk. "Sudah kuduga."
Tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Oh aku lupa, namaku Yizhen."
"Aku tahu, aku mendengarnya dari kakekmu," jawab Yagra. Dia mengembalikan handuk itu pada Yizhen setelah merasa tubuhnya tidak terlalu basah lagi.
Yizhen masih menatapnya, "Lalu kau? Siapa namamu? Sepertinya kita seumuran."
"Namaku Yagra, sembilan tahun."
"Berarti aku lebih tua darimu, aku sepuluh tahun. Panggil aku kakak, oke?"
"Kenapa harus? Setahun itu tidak terlalu jauh. Aku tidak akan memanggilmu kakak."
Mata hitam cerah Yizhen menatapnya lucu. "Tidak masalah, kau boleh memanggilku sesukamu. Sekarang pergilah tidur, besok aku akan mengantarkanmu ke kota, aku tahu semua jalan di hutan ini."
Mendengar bahwa Yizhen akan mengantarkannya, entah kenapa rasa sesak di dadanya membuncah lagi. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi Yizhen sudah beranjak berdiri.
Sesaat kemudian, Yizhen kembali lagi sambil membawa sebuah bantal dan selimut. Meletakkannya di sebelah Yagra. "Aku tidak punya cukup bantal karena hanya tinggal berdua dengan kakek. Kau pakailah punyaku."
Yagra menatapnya tidak tega. "Lalu kau?"
"Aku tidak masalah, aku sudah biasa tidur tanpa bantal."
Yagra mengucapkan terima kasih dengan suara pelan. Lalu dia berbalik dan tidur menghadap dinding. Dia terpaksa tidur di lantai tanah yang beralaskan tikar tipis ini. Karena memang tidak ada tempat yang layak untuk dijadikan tempat tidur dalam gubuk kecil ini. Sesaat dia membalik badan, melihat bahwa Yizhen kini sudah tertidur di sebelah kakeknya di sudut lain. Tangannya ia jadikan bantalan, dan tubuhnya meringkuk seperti kucing. Yagra tahu, pasti dia kedinginan.
.
.
.
Cahaya menembus masuk melalui tirai tipis. Yagra menyipitkan matanya yang sudah bengkak karena terlalu banyak menangis kemarin malam. Tangannya terangkat untuk menutupi cahaya matahari yang masuk itu.
Dia masih mencoba untuk melanjutkan tidur ketika suara denting peralatan makan terdengar dari balik punggungnya.
Yagra tiba-tiba tersadar. Benar, dia kini bukan berada di rumahnya yang mewah. Dia adalah anak yang kabur dari rumah dan entah bagaimana sampai ke tempat ini. Semua itu terasa seperti mimpi baginya.
Melihat pergerakan kecil Yagra, anak lelaki baik hati yang ditemuinya semalam pun bersuara, "Kau sudah bangun? Ayo makan dulu, kau pasti lapar."
Yagra perlahan duduk, seketika rasa pusing pun memenuhi kepalanya. Bagaimana tidak, malam itu dia belum sempat makan dan berlari berkilo-kilo meter jauhnya seperti pencuri yang dikejar warga. Berlari tanpa henti dan tanpa tujuan, hanya memikirkan keselamatan dirinya. Bedanya, pencuri masih ada yang mengejar, tapi dia? Sepertinya tidak ada yang peduli jika dia kabur dari rumah.
Kemudian prasangka Yagra berubah lagi, bukankah mereka membutuhkan jantungnya untuk diberikan pada kakaknya? Benar, pasti mereka sebentar lagi akan mengerahkan segala cara untuk menemukannya, untuk kemudian mengambil hidupnya pada akhirnya.
Mini Teater :
Kakek ketika melihat Yagra be like : Njerr, nambah lagi beban keluarga
See you in the next chapter!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Bersinar di Malam Hari
FantasyYagra hanyalah anak yang dilahirkan sebagai penyambung hidup kakaknya, dia hanyalah tumbal untuk mendapatkan kesembuhan anak kesayangan orangtuanya itu! Jika saja dia diberi kesempatan untuk memilih, dia tak akan pernah sudi untuk dilahirkan ke duni...