Tanganku meraih daun jendela lapuk ini. Ada bunyi keriut kecil ketika aku mendorongnya hingga terbuka.
Angin dingin segera menyambut dan menerpa wajahku. Dinginnya bisa menembus sampai ke tulang.
Aku melihat keluar jendela. Di luar masih terlalu sepi.
Pepohonan hanya terlihat seperti siluet-siluet abu-abu. Aku tidak melihat jam berapa kini, tapi aku mengira-ngira mungkin baru pukul tiga pagi.
Aku memilih untuk duduk di depan meja belajarku yang tua, mungkin tidak lebih tua dibandingkan bangunan ini. Bangunan yang usianya sudah berpuluh-puluh tahun. Mungkin sudah mencapai ratusan tahun?
Aku sudah berada disini sejak lama. Entah kapan, tapi aku merasa telah lama berada di asrama sekolah tua ini. Kepala sekolah yang membiarkanku tinggal disini.
Aku ingat dulu kepala sekolah, Saeki Sensei yang mengasuhku. Sejauh yang aku ingat dia merawatku seperti anaknya sendiri. Dia membuatkanku makanan, dia juga membelikanku pakaian, dan dia mengajariku banyak hal karena aku tidak pergi ke sekolah. Dia bahkan mengajakku jalan-jalan jika dia sedang tidak punya pekerjaan.
Saeki Sensei melakukan semua hal itu sendiri semenjak istrinya meninggal delapan tahun yang lalu. Sebelumnya dia mengasuhku bersama istrinya. Aku juga ingat dia punya putra satu-satunya dan putranya itu sekarang pergi bekerja di luar negeri.
Kalau ada seseorang yang bisa kusebut orang tua, maka hanya dia yang ada dalam pikiranku. Mungkin hanya Saeki Sensei, walaupun aku juga tidak yakin seperti apakah rasanya memiliki orang tua kandung, seperti apakah hubungan orang tua dan anak itu. Aku tidak peduli.
Setelah aku bisa mengurus semua keperluanku sendiri, aku memintanya untuk berhenti merawatku seperti anak kecil. Dia lalu membiarkanku tinggal di asrama sekolah tua ini.
Aku tidak benar-benar tahu apa yang dipikirkan Saeki Sensei, tapi dia tetap memperlakukanku seperti anak kecil yang harus diurusnya. Dia membuatkanku sarapan setiap pagi di dapur asrama.
Bukankah aku sudah bilang padanya, aku bisa mengurus diriku sendiri?
Tapi, sudahlah. Aku tidak begitu peduli.
Seperti biasa, setiap pukul enam pagi aku selalu menuju ke dapur asrama. Hari ini aku berharap Saeki Sensei tidak mendahuluiku berada di dapur dan memasak untukku. Aku bisa melakukannya sendiri. Atau, dia bisa saja memintaku untuk membantunya menyiapkan makanan kan?
Dia hanya orang tua yang terlalu baik untuk orang yang tidak jelas asal-usulnya sepertiku.
"Selamat pagi,"
Aku melihat Saeki Sensei sudah berada di depan kompor dan terlihat sedang merebus sesuatu. Aku kalah lagi darinya. Dia selalu mendahuluiku.
Tapi pagi ini ada sesuatu yang terasa berlebihan. Bahan-bahan makanan yang berjajar di meja dapur itu terlihat terlalu banyak dibanding biasanya. Bukankah hanya perlu makanan untuk dua orang? Apa dia ingin mengadakan semacam pesta?
"Pagi," jawabku singkat. Dia tersenyum.
Aku mengambil dua piring dan dua sendok dari rak piring, lalu menyusunnya di meja makan.
"Kizu," Saeki Sensei meninggalkan sejenak sesuatu yang diaduknya dalam panci dan berbicara padaku. "akan ada hal besar hari ini."
Dia berkata sambil tersenyum lebar. Saeki Sensei sepertinya tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya hari ini.
"Ada apa?" tanyaku, tidak terlalu tertarik dengan berita apapun yang dibawa Saeki Sensei.
Dia mendekatiku dan berdiri tepat di depanku. Tangannya terulur memegang kedua pundakku.
"Ayo tebak," senyumnya mengembang lebih lebar lagi. "Ada empat orang murid yang datang ke sekolah ini! Empat murid, Kizu kun!!!" sekarang dia hampir melonjak karena bahagia.
Hmm...itu memang berita besar. Aku pun tidak pernah menyangka akan ada seseorang yang bersedia mendaftarkan diri untuk bersekolah di sekolah tua ini.
Sekolah ini memang sudah sangat tua. Aku tidak tahu sejarah apa saja yang telah dicetak oleh sekolah yang begitu tua ini, tetapi sekolah ini telah kehilangan semua wibawanya semenjak aku masih kecil.
Bangunan gedungnya sudah keropos dimana-mana. Bangku-bangkunya tua, papan tulisnya tua, dan jendelanya juga tua. Lantainya usang berdebu.
Sekolah ini seperti seorang tua yang hampir menemui ajalnya.
"Oh, aku mengerti kenapa Sensei sangat bersemangat hari ini."
"Aku selalu bersemangat tiap hari, Kizu. Tetapi hari ini adalah hari yang istimewa!"
Aku ingin menanyakan, bukankah sekolah tua ini sudah ditutup bertahun-tahun yang lalu? Jadi bagaimana enam orang murid itu punya ide untuk masuk ke sekolah ini?
Tapi aku tidak ingin mengetahui apapun. Itu bukan hal yang harus aku pusingkan. Mungkin saja Saeki Sensei yang dengan senang hati menerima mereka. Oh, aku lupa. Saeki Sensei pasti dengan senang hati menerima mereka. Mungkin mereka yang punya masalah sehingga tidak punya pilihan lain selain memilih masuk ke sekolah yang telah tamat bertahun-tahun yang lalu ini.
Mereka sepertinya datang untuk membangkitkan sekolah ini lagi, setelah tidur panjangnya.
"Jadi semua makanan ini untuk pesta penyambutan mereka?"
Saeki Sensei kembali mengaduk masakan dalam pancinya.
"Semacam itulah..."
Dia mematikan kompor dan sekarang mulai memotong-motong wortel. Aku lihat kemampuannya memotong wortel menjadi sebentuk bunga matahari sangat mengagumkan.
"Kenapa harus membuat pesta penyambutan segala? Mereka hanya empat orang murid biasa."
"Justru karena mereka adalah empat orang murid pertama" dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Empat orang murid pertama setelah bertahun-tahun kita tak punya siswa. Mereka adalah orang-orang yang nanti akan menjadi teman-temanmu." Katanya sambil menatap wajahku, tanpa kehilangan senyumnya sedikitpun.
Aku sungguh tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan Saeki Sensei. Tapi aku tetap membantunya menyiapkan pesta penyambutan ini. Saeki Sensei sekarang sedang memotong kentang membentuk bintang.
"Sensei tidak perlu memotong sayuran sebagus itu. untuk apa bekerja keras memotong sayuran menjadi bentuk-bentuk seperti ini?" aku mengamati sepotong wortel, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Rasanya manis dan renyah. "akhirnya sayuran-sayuran ini akan tetap masuk ke dalam pencernaan tidak peduli apapun bentuknya."
"Hmm...tidak apa-apa. Kau jangan khawatir, Kizu. Aku akan membuat pesta penyambutan yang hangat."
Kata Saeki Sensei. Senyum optimisnya itu membuatku menyerah berdebat dengannya.
Saeki Sensei meletakkan piring terakhir yang berisi cumi goreng tepung. Aku tidak tahu apakah ini sudah kelewat batas atau Saeki Sensei hanya terlalu bahagia saja, tapi dia punya ide untuk memanggang yakiniku. Menurutku terlalu mahal untuk ukuran keuangan kami. Aku ingin mengatakan itu padanya. Tapi, aku tidak ingin ada perdebatan panjang. Aku juga tahu kalau Saeki Sensei pasti memenangkan perdebatannya apapun yang terjadi.
Bukan karena dia punya argument lebih bagus, tapi dia hanya punya pikiran positif yang besar.
Segera setelah itu ponsel Saeki Sensei bergetar. Ada pesan yang masuk.
"Mereka datang!"
Saeki Sensei memasukkan kembali ponselnya dalam saku. Sekarang dia bergerak lebih cepat lagi. dia merapikan meja, menata lagi piring-piring yang telah rapi, dan juga menata penampilannya.
Sejenak, dia nampak seperti seseorang yang kedatangan tamu kehormatan dari keluarga kerajaan.
Dia benar-benar tidak ingin membuat enam orang murid itu kecewa.
Terdengar ketukan pintu dari luar. Aku tidak akan bertanya pada Saeki Sensei siapa yang mengetuk itu, itu pasti mereka. Murid baru itu.
Saeki Sensei membuka pintu, enam orang murid itu masuk satu persatu.
Penampilan setiap orang tidak ada yang istimewa. Mereka biasa-biasa saja.
Aku cenderung melihat mata mereka dan menggumam dalam hati.
"Mata yang sama denganku..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Remembrance
Science Fictionsekolah tua ini tiba-tiba kedatangan murid baru. Mereka semua aneh, seperti memiliki sisi kelam masing-masing. Hingga suatu ketika mereka mengalami time skip...