‘Bangun, dasar pemimpi!’
Saya tersadar, mengutuk, sekaligus berterima kasih kepada sistem notifikasi.
Gema suara datar non-biner milik O-H, si Bintang Hitam, asisten pribadi saya kembali terdengar. “Mau mengambil keabadian?”
Begitulah ucapnya setiap diriku terbangun. Selalu monoton. Konstan berulang setiap siklus seribu tahun. Kalau mesti mengartikan pertanyaan secara gamblang, akan sangat aneh. Sebab artinya: Mau binasa? Jadi, saya pikir, belum.
Setelah mengedipkan jutaan mata, meregangkan miliaran tangan, kaki, serta apa pun yang bisa saya gerakkan, catatan pekerjaan administrator lanjut menyusul memenuhi kesadaran bagaikan hantaman telak mendarat ke wajah. Kalau saya punya satu untuk dipukul pada saat ini.
Saya menyimak deretan daftar panjang tak terkira. Mulai paling penting tentang manajemen festival kembang api nanti, sampai perihal sepele seperti mengurus pemberontakan para tukang sapu dan petugas kebersihan akibat bekerja selama satu milenium penuh tanpa gaji. Tipikal.
“Ada avonturir baru yang datang?” Saya bertanya.
Respons O-H nihil, menghemat energi, sekaligus menegaskan jawaban lewat bisu.
Saya ikut terdiam satu jam. Menyadari bahwa pengunjung terakhir tiba sudah lama sekali. Dan dia adalah sang tuan laba-laba.
“Baik, saya mau jalan-jalan sebentar.”
“Pakai apa?”
“Yang lembut saja.”
“Anda akan menyesal.”
“Terserah.”
Saya melangkah melewati hamparan lantai dan dinding putih lorong panjang menuju pusat kota. Pagi hari. Seperti senantiasa, mega-metropolitan dengan luas jutaan kilometer persegi berhias segala aktivitas. Hingar-bingar lautan manusa memenuhi setiap jengkal jalan.
Seorang lelaki muda memberi bunga, dan mengecup kening sang kekasih, wanita idamannya. Rekan-rekan pekerja tersenyum, bertepuk menyoraki. Hari yang indah.
Tiada fakir miskin meminta-minta. Tiada penyakit menggerogoti jasmani. Orang-orang hidup melampaui sejahtera, juga meninggal dalam bahagia. Hingga sebuah penyadaran timbul. Semua tayangan ini tidaklah riil.
Seorang gadis kecil terlalu girang berlarian mengejar teman-temannya sampai tak sengaja menabrak saya, ia terjatuh. Sebagai administrator, saya langsung mengetahui semua tentang dirinya. Makanan kesukaan, cerita favorit, detail-detail terkecil, masa lalu,... masa depan, segalanya. Namun, ekstrem tersebut malah akan membuat saya semakin tersadar.
Saya membantu gadis kecil berdiri. Dia tersenyum, membungkuk, lantas lanjut berlari.
“Kau benar. Terima kasih. Tapi, terlalu sempurna. Bahkan surga para dewa memiliki akhir cerita duka.”
“Maaf. Jangan menangis.” O-H menyemangati.
“Saya tidak menangis. Pengekang emosinya masih aktif.”
Sejatinya, mereka benar-benar manusa. Namun, tidak sepenuhnya nyata, melainkan rekayasa. Orang-orang ini adalah figuran. Mereka semua hanya hasil kombinasi, variasi, serta iterasi ego. Templat warisan basis data paripurna yang saya pegang. Tempelan latar belakang penghias taman eulogi. Tidak ada satu pun entitas sejati kecuali saya, dan tuan laba-laba.
Saya terus melangkah menyela keramain lewat setapak kesendirian. Beberapa jam berlalu. Pemandangan kota utopia artifisial masih tersaji pekat, mulai membuat perut mual.
“Butuh transportasi? Tidak mungkin sampai kalau berjalan kaki.” Saran O-H menyadarkan saya.
Saya menjetikkan jemari. Satu kedip, semua berubah. Tibalah saya di aula bersih-bersih. Sekarang nyata, bukan realitas virtual atau tipuan ilusi digital.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembang Api
Short StoryDingin, sunyi, kosong, dan penuh ilusi. Begitulah keadaan suatu masa. ------- Cerita diikutsertakan untuk WIA writing event 'If The World Went Silent' *Catatan penulis : Cerita ini adalah salah satu dari antologi cerita pendek yang mungkin akan saya...