Chapter 02

18 0 0
                                    

Pagi ini Renata menutus untuk jalan pagi setelah mengumpulkan niat selama duapuluh tahun. Sejak jauh sebelum orang tuanya bercerai saja Renata sudah malas olahraga, hadeh.

Bukan sebuah kebetulan saat Renata menuruni tangga ke-13, ada ayahnya yang bersenda-gurau dengan papa toyibnya yang tumben sekali pulang di hari senin yang cerah ceria pwnuh sinar matahari di atas bunga daisy.

Oh, iya. Kemarin Papa bilang meeting-nya udah selesai. Tapi Papa enggak bilang mau pulang kapan. Tetiba aja nongol-ngilang kayak jalangkung sebelah yang suka buat ulah tapi emoh tanggung jawab, huh!

"Papa, Ayah!" sapa Renata setelah mendekat.

"Rena/Nana!" sapa keduanya yang merupakan figur ayah bagi Renata.

"Rena mau kemana?" tanya salah satu pria itu. Namanya Aldrich Yeshua. Suami keempat mama Renata yang ia panggil sebagai 'Ayah'.

"Beli Fortune kukis di Kedai Receh."

"Sama siapa?" tanya ayah biologis Renata. Mario Alectris.

"Sendiri, kok."

"Kok sendiri, sih. Mau Ayah temenin?" tanya Aldrich perhatian.

Renata buru-buru melambaikan tangan ke kamera- Nggak!

"Enggak usah, Yah. Renata mau sekalian jogging juga, kok."

"Tumben." Mario menyesap kopi paginya yang dibuatkan Aldrich. Karena Aldrich seorang barista, kenapa enggak nyari kesempitan dalam kesempatan, ha?

"Papa, ah~" rengek Renata.

Aldrich tersenyum. Ia melambaikan tangan, memberi isyarat agar Renata mendekat.

"Jangan pergi ke tengah jalan, oke?" pesannya dengan senyum keibuan. lah. Kebapakan maksudnya. Coba minta bapakmu senyum, jelek gk? Ya jelas enggak, orang bapakmu yang senyum.

Senyum, bukan ketawa ampe giginya kering.

Renata mengerutkan kening.

"Yah, 'kan dari Kedai Receh ke taman anjing musti nyebrang. Rena enggak bisa ke taman dong kalo gitu," keluh Renata dengan tangan bersedekap.

"Nana dengerin Ayah, yah. Jangan menyebrang jalan, bahaya!" bujuk Aldrich.

"Lagian 'kan kamu enggak punya anjing, Ren."

"Itu 'kan karena Papa enggak mau kasih Renata anak anjing, huh!"

"Rena, Sayang. Papa udah bilang sama kamu, Ayah Al alergi bulu hewan. Tolong ngerti ya, Sayang. Kamu udah besar, kamu tau mana yang benar dan mana yang salah."

Renata hanya mencoba untuk tersenyum seikhlasnya. Berseteru dengan dua ayah tak akan membuatnya keluar sebagai pemenang. Yang ada malah di cap anak durian, meh.

"Ya udah, iya. Rena nanti jalan di teritisan, ya." Rena mengulum senyum tipis guna menyelimuti sarkasmenya. Taburan gliters di atas donat adalah andalannya di saat ia berada di posisi tidak mampu membalas lawan bicaranya.

Rena melihat jam di tangannya, waktu sudah berlalu banyak sejak ia diberhentikan dua ayah.

"Rena pergi dulu, ya. Udah telat," kata Rena sambil menunjuk pintu lalu mencium pipi kedua ayahnya.

"Enggak mau minum kopi dulu? Mumpung Ayah Al buat banyak, nih."

"Enggak, ah. Nanti jantung Rena dugun dugun dugun," tolak Rena.

"Dukun?" tanya Mario.

"Pfftt...."

Mario melirik ganas Aldrich yang berani menertawakannya. Pria ini sangat berani!

"Tsk!" decak Rena melihat drama remaja di depan matanya. Hanya sang ayah yang berani menertawakan CEO kutub selatan seperti ayahnya.

"Ya udah sana pergi."

"Dih, ngusir!"

"Iya, sana sana, hus!!"

Renata melengos dari hadapan dua ayah. Sering kali Renata menyesali takdir yang menempatkannya di bawah asuhan sang papa. Tapi lebih menyesakkan mengetahui sang mama lebih memilih membawa kakak kembarnya daripada membawa dirinya. Melihat lingkungan tempat ia tumbuh dan berkembang membuat Renata menahan dengkusan. Mungkin Renata harus memikirkan saran Pak Us yang suka ngisi kajian di masjid ujung komplek.

"Tapi agama gue silang melintang sama agama Pak Us! Iya kalo ntar enggak di demo anak gereja, lah kalo dibakar di tiang pancang, jadi nenek sihir, lah! Ya kali ntar gw nyebut akuaman-atlantis trus apinya beku, dikata gw punya khodam ibrahim apa yak."

Brakk!!

"Monyet!" Renata terkaget-kaget mendengar gebrakan keras dari tiang lampu. Ternyata Bu Yatifah yang memukul tiang lampu dengan kursi kayu tunggal yang kini berserakan di kakinya dalam keadaan rusak tak berbentuk lagi.

"Neng! Jangan sekali-kali elu bikin candaan pake bawa-bawa agama gua, yak!" omelnya penuh amarah.

"Sejak kapan gue becandaain agama Ibuk?" tanya Renata bingung.

"Lah itu tadi apa? Ha? Mukjizad Nabi Ibrahim lu sama-samain khodam, maksud lu apa?"

Renata mengerutkan kening.

"Ya maap, 'kan gue kagak tau."

"Ngeles aja lu kayak keledai-"

"Bang Jay, please."

"Bajaj!" bentak Ibu itu yang tak lupa mengambil kesempitan dalam kesempatan, menggeplak kepala Renata dengan tenaga titan.

"Iya iya, ah!" sungut Renata.

Tanpa menambah waktu, eh, membuang waktu dengan Si Mamak Ganas itu, Renata mengambil langkah mundur sebelum kabur menuju jalan raya. Sesampainya di terotoar, sebuah kebetulan yang berujung kesialan kembali menghampiri putri kedua Aletris.

"Renata!"

Renata memasukkan tangannya ke saku jaket guna meminimalisir keinginan mengadu kepala si pemanggil dengan aspal jalanan yang mengkilat di tengah terik mentari siang itu.

"Dion," sapa Renata sopan.

Tumben sekali Renata sopan, tapi mau bagaimana lagi, mereka berada di ruang umum, bukan di kafe Melati yang halal diobok-obok luar dalam.

"Tumben jalan kaki, mau ke mana?" tanya Dion bersikap santai dengan tangan di saku celana jeans.

Renata menatap segalanya kecuali Dion. Ia tak mau khilaf; seperti kata Pak Us yang ia sendiri lupa arti khilaf itu apa, tapi Renata tak mau membayar uang rumah sakit.

"Lo ngapain nyamperin gue?" tanya Renata malas.

"Emang enggak boleh?" tanya Dion.

Dion mencoba untuk mengambil tangan Renata dari saku. Setelah berhasil melakukannya, Dion malah menyesal karena apa yang menunggunya adalah pisau lipat yang tergenggam erat di tangan putih Renata.

"Ren, lo enggak bercanda 'kan? Ngapain bawa-bawa pisau segala sih?" tanya Dion sweatdrop total.

Beruntung mereka tak mencuri perhatian atau sekarang akan semakin rumit karena keikutsertaan orang ketiga dalam urusan mereka.

"Minggir lo!" bentak Renata seraya menghempas lengannya. Tanpa aba-aba Renata berlari ke tengah jalan raya. Gadis itu sepertinya melupakan peringatan Aldrich untuk tak menyebrang jalan raya.

Dion yang kaget sontak mengikuti jejak Renata. Terjadilah adegan kejar-kejaran karena otak Renata mengeluarkan sistem naluri bertahan hidup. Renata yang panik karena dikejar menambah kecepatan yang kembali diikuti Dion. Pria yang mempermainkan hati dua wanita tanpa sengaja itu keheranan dengan sikap Renata yang seperti dikejar psikopat.

"Ren! Lo ngapain lari?" teriak Dion di sela-sela napasnya yang luar biasa berat.

"Ya lo ngapain ngejar gue?" tanya Renata balik.

"Ya lo sendiri tiba-tiba lari!"

Tiba-tiba Renata menghentikan pelariannya. Nyaris saja Dion menabrak punggung gadis itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Vampir dan Serigala (GGS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang