Cuaca siang itu sangat terik. Begitu turun dari ojek daring yang dia tumpangi dan melepas helm, Sarah langsung bisa merasakan panas matahari menyengat ubun-ubun. Peluhnya bercucuran. Mulai dari dahi, leher, hingga punggungnya pun telah basah. Aroma berbungaan dari parfum yang dia pakai juga sudah bercampur dengan keringat, menyebabkan baunya jadi semakin tajam.
Selepas ojeknya pergi, Sarah masih mematung di pinggir jalan raya kecil selebar kurang dari lima meter yang tampak lengang—hanya dilintasi beberapa kendaraan motor roda dua. Sepasang matanya memandang sekitar. Mulai dari hamparan sawah di seberang jalan yang sedang ditanami palawija, lalu ke sebuah rumah joglo besar berdinding bata dengan atap limasan khas yang kini ada tepat di hadapannya.
Perempuan yang sedang menenteng sebuah tas travel berukuran sedang itu menarik napas panjang, menahannya sebentar, kemudian mengembuskannya. Sarah berusaha menenangkan debaran jantungnya sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali dia berkunjung ke sana. Dua belas tahun lalu? Lima belas tahun lalu? Atau dua puluh tahun lalu. Entah. Dia sama sekali tidak ingat. Memori tersebut terasa begitu buram di benaknya. Mungkin karena tidak banyak kenangan baik yang dia buat. Atau bisa jadi karena kebencian pada pemilik rumah yang sekarang, menyamarkan semuanya.
Sarah tidak tahu.
Akan tetapi, perempuan dengan rambut ikal sewarna madu yang tergerai di punggung itu ingat satu hal. Pohon sawo besar yang ada di tengah-tengah halaman yang luas itu adalah hal yang paling ditakutinya dulu. Sarah kecil selalu ditakut-takuti saat merengek ingin pulang menjelang tidur bahwa di atas pohon itu ada hantu yang siap menculiknya jika terus-terusan rewel. Konyol. Tanpa sadar, dia pun mendengkus dan menarik salah satu sudut bibirnya ke atas.
Tampak tak ada yang banyak berubah. Tempat itu tetaplah menjadi rumah yang paling dibenci oleh Sarah. Bangunannya masih terlihat kokoh berdiri sendirian dan tetap sepi, juga tanpa tetangga, meski terletak persis di pinggir jalan raya. Rumah lain yang terdekat berjarak sekitar seratus meter dan dipisahkan oleh hamparan kebun pisang.
Perubahan paling mencolok yang bisa dilihat Sarah dari tempat itu adalah penambahan sebuah bangunan di salah satu sudut halaman yang tampak seperti sebuah bengkel. Suara retih api berbaur dengan raungan mesin gerinda terdengar dari sana. Menjadikannya sebagai satu-satunya sumber kebisingan.
Namun, Sarah tidak begitu peduli. Dia ke tempat ini bukan untuk berkunjung atau mengenang masa lalu, tapi untuk keperluan yang jauh lebih penting. Sebuah map plastik kuning berisi selembar kertas dia genggam dengan erat di tangan satunya. Apa pun yang terjadi, dia harus mendapatkan tanda tangan itu hari ini dan segera pergi. Dia berharap urusannya cepat selesai tanpa banyak pertanyaan.
Gadis itu pun mulai berjalan dengan gerakan anggun. Sepatu ankle boot-nya yang berhak setinggi lima senti pun menapak begitu mantap tak tergoyahkan. Seolah-olah itu adalah tekadnya, sedangkan tanah yang diinjaknya adalah sesuatu yang menghalangi kehendaknya. Ujung gaun midinya pun berkibas lembut seirama dengan ayunan kaki. Langkah demi langkah membawanya melintasi halaman menuju bangunan utama.
Pintu depannya tertutup. Sesaat Sarah pun ragu untuk mengetuk. Lalu, saat tangannya hendak terayun, bunyi bising dari bengkel lenyap berganti satu teriakan lantang bernada berat dan serak yang sedikit menyentak.
“Cari siapa, Mbak?”
Sarah menoleh, kemudian didapatinya seorang laki-laki bertubuh jangkung dengan setelan wearpack abu-abu sedang berdiri di depan bengkel dan memandangnya penuh tanda tanya.
“Pak Andhika. Apa dia ada?” jawab Sarah.
Dia lalu mengamati sekilas penampilan laki-laki itu dari jauh. Rambutnya hitam pekat, terlihat berminyak, dan diikat rapi di belakang. Dia juga mengenakan kacamata pelindung yang membingkai sebagian wajahnya yang bergaris keras, terutama di bagian rahang. Sebuah earmuff tergenggam di tangannya yang bersarung tangan kotor, entah berwarna putih atau abu-abu. Sepatu pelindungnya dari karet dengan sol super tebal yang tampak sangat berat. Dilihat dari segi mana pun penampilannya, Sarah langsung merasa tidak menyukai lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah dalam Kubah Kaca
SpiritualSarah sudah bertekad bahwa tidak ingin Andhika, Sang Ayah, menjadi wali nikah saat pernikahannya dengan Hans nanti. Namun, mendapatkan persetujuan di atas kertas darinya--berupa surat kuasa wali nikah--begitu sulit. Andhika tidak mau menandatanganin...