"Heh elo, kacamata!"
"I-iya kak?"
"Mulai sekarang, kalau ketemu OSIS atau senior, lo bilang gini ya, Selamat pagi, Kak. Disapa dong, jangan dilewatin gitu aja."
"S-se-sel-selamat p-pag-gi, Kak."
"KURANG KENCENG! LOYO BENER, DARAH RENDAH LO?"
"SELAMAT PAGI, KAK!"
***
Tebak, hari ini hari apa? Hari pertama bersekolah normal, setelah bertahun-tahun tidak.
Kamu boleh memanggilnya Agi. Pemuda itu sempat didiagnosis depresi saat masih sepuluh tahun. Akibat perceraian orang tuanya, Agi menarik diri dan muram sepanjang hari. Saat itu, ia nyaris tidak mau berbicara sama sekali.
Kelas lima sekolah dasar, Mama memutuskan untuk memberhentikan Agi dari sekolah, karena depresi membuatnya kesulitan bersosialisasi. Ia bersekolah di rumah. Terus berlanjut sampai lulus SMP.
Di satu sisi, sepertinya ini pilihan yang baik dan ideal. Homeschooling memberi posisi strategis: mengakomodasi kebutuhan belajar sekaligus meniadakan kegiatan sosialisasi yang memberatkan. Namun, lama kelamaan, Mama cemas melihat Agi yang hanya duduk membaca buku dan berkutat dengan latihan soal sepanjang waktu, lantas menyuruh untuk kembali bersekolah normal--apalagi adik tirinya baru saja lahir. Laki-laki, kembar. Betapa berisiknya rumah Agi saat ini.
Bukannya Agi tidak berbahagia dengan kehadiran adik baru. Namun, kehadiran Margo dan Monda jelas mengganggu ketenangan hobinya yaitu belajar. Ya, jangan kaget. Di dunia ini, ada manusia yang hobinya belajar. Yaitu Agi.
Cita-cita Agi sejak dulu ingin menjadi dokter. Ia paham, menjadi dokter tidak cukup sekadar cerdas akademik, tetapi perlu juga kecakapan berkomunikasi. Lalu setelah perdebatan maha panjang, Agi akhirnya memutuskan untuk mengiyakan anjuran (baca: paksaan) Mama untuk menghentikan sekolah di rumah, demi mengasah kemampuan bergaul dan berbaur.
Dan di sinilah Agi sekarang.
***
Cemas, dua telapak tangannya menggenggam tali ransel. Peluh bergulir berbulir-bulir--menyaksikan lalu lalang manusia yang begitu ramai di sekitar. Ada segelintir kakak kelas dengan raut wajah garang, mereka semua mengenakan jas OSIS warna biru tua dengan tali komando warna-warni yang menggambarkan jabatan mereka. Ada banyak anak kelas satu yang baru masuk layaknya Agi, dan tidak ada satupun yang berani ia sapa karena tidak ada yang cukup ramah menurut penilaian mata, kecuali satu pemuda sebaya yang tengah tersenyum selebar-lebarnya.
Mata menyorot jenaka, tulang wajah tajam, dan tubuh tinggi. Bibirnya menggurat senyum ramah sekali. Agak terlalu ramah, menurut Agi. Karena mata itu tidak dilepaskan dari sosok Agi.
Lamat-lamat, Agi meneliti sosoknya sendiri. Aduh, apa ada yang salah dariku?
Agi, anak culun dengan kacamata rabun jauh. Seragamnya kedodoran, celananya kepanjangan--supaya bisa muat terus sampai nanti lulus. Ranselnya amat besar, isinya rantang masakan Mama. Agi tidak sanggup membayangkan dirinya harus berbaur dalam keriuhan kantin. Lebih baik Agi membawa bekal dari rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAYO | FLUFFY Short Story
Teen Fiction"Sering kali seneng, sesekali spaneng." --- Siapa sangka-berkat terkurung di kamar mandi, perkawanan mereka jadi abadi? Siapa kira-ruang sempit bau pesing berhasil mempersatukan empat orang yang sama sekali asing? Marcell yang selalu bertingkah...