Mendengar respon konyol Marcell, Yudhis berdecak kencang, lantas memutar mata. Menjadi Yudhis yang lebih penyabar adalah misinya begitu ia masuk SMA. Ia sudah khatam dibuat kesal oleh Edo---adiknya di rumah dan berharap sekolah menjadi tempat penyegaran sekaligus pelarian dari hal-hal menyebalkan. Namun, belum apa-apa, pria bersimbah air mata di depannya membuat emosi membara.
Bisa-bisanya Si Tolol ini menangis karena ketidak mampuannya menyiram berak sendiri.
"Ya udah, ya udah. Meweknya lanjutin nanti-nanti. Mending lo bantuin kita, deh," sungut Yudhis.
Marcell mengusap matanya. "Bantuin apa?"
Tadi kan udah dibilang, bantuin buka pintu. Dia dengerin, gak, sih?
"Kita kekunci di sini. Coba, lo bantuin buka. Keras banget." Yudhis menunjuk pintu utama toilet pria yang bergeming kalem.
Marcell tidak mengiyakan, hanya melangkah gontai menuju pintu. Ia kerahkan tenaga pada dua tangan yang mencengkram gagang. Punggungnya sedikit terlempar ke belakang. Pintu tersebut hanya bergetar sedikit di dalam engselnya, tetapi tidak juga membuka. Suara geraman mencuri keluar dari mulut Marcell, rahangnya gemetar. Pintu toilet tetap tak gentar.
***
Yudhis melirik arloji. "Udah, gak usah dibuka sekalian. Kita udah telat."
Agi membelalak. Sebulir keringat lahir dari pori-pori pelipis. Adalah mimpi buruk bahwa ia terlambat di hari pertama sekolah. Padahal tadi pagi, Agi sudah datang pagi sekali. Pukul enam tepat, ia sudah menginjakkan kaki di selasar sekolah yang berlapis tegel merah. Ia pikir, ia akan punya waktu setidaknya beberapa menit untuk mengobservasi suasana sekolah yang masih asing, sebelum memulai Masa Orientasi Sekolah pada pukul setengah tujuh pagi.
Namun, apa daya, ia malah terjebak di sini---bersama seorang lelaki jutek dan lelaki planga-plongo bernama Marcell yang melongo menatap Yudhis sambil mencicit: "Maksud lo gak usah dibuka sekalian? Kita bakal kekurung di sini selamanya, gitu?"
"Ya enggak, lah! Ini kan toilet umum. Pasti nanti ada yang mampir ke sini, terus nyadar kalau toilet ini kekunci, terus nanti bakal ada yang bantu bukain," cibir Yudhis.
"T-ta-tapi, i-in-ini b-ba-baru j-jam setengah tujuh l-lewat lima." Agi buka suara. "M-murid k-kan b-baru m-mas-suk jam tujuh li-lima belas-s."
Perkataan Agi ada benarnya. Hanya siswa baru dan pengurus OSIS yang datang sepagi ini, itupun mereka pasti sedang berkumpul di auditorium untuk mengikuti kegiatan MOS. Jam sekolah normal dimulai sekitar empat puluh menit lagi. Logikanya, mereka harus menunggu lebih dari setengah jam sekolah mulai ramai dan barangkali satu di antara siswa akan mampir ke toilet ini.
Mendengar suara Agi, Marcell memandang lelaki berkacamata itu dengan prihatin. Sudut luar alisnya menukik turun. "Ya ampun, lo gak bisa ngomong, ya?"
Deg. Wajah Agi memerah. Sudah lima tahunan Agi menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. Diam, sendiri, kesepian, tidak punya teman. Lelaki berusia lima belas tahun itu sangat jarang berkomunikasi dengan suara. Sekalinya membuka mulut, ia yang gugup setengah mati malah disangka tidak bisa bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAYO | FLUFFY Short Story
Fiksi Remaja"Sering kali seneng, sesekali spaneng." --- Siapa sangka-berkat terkurung di kamar mandi, perkawanan mereka jadi abadi? Siapa kira-ruang sempit bau pesing berhasil mempersatukan empat orang yang sama sekali asing? Marcell yang selalu bertingkah...