Ketika hidupmu sudah diatur, diputuskan, dan ditangani oleh seseorang, mungkin harusnya kau berterima kasih.
Setidaknya itulah yang diyakini Hilir.
Sudah sekitar satu tahun ia menjalani kehidupan itu. Kehidupan yang diatur penuh oleh orang tuanya, yang membuatnya hanya perlu menjalaninya tanpa perlu memutuskan ini atau mengkhawatirkan itu.
Gadis kelas tiga SMA itu tengah menatap taman depan rumahnya melalui jendela kamar. Hujan turun cukup deras, membasahi bonsai-bonsai dan meredam kicau burung-burung berharga jutaan milik ayahnya.
Hilir menghela napas. Ia beringsut dari jendela lalu duduk di depan laptop dan memasang alat bantu dengar di telinga. Sepuluh menit kemudian, dia sudah tenggelam pada pementasan teater yang terputar di layar laptopnya.
Kalau dipikir-pikir, semua ini diakibatkan adanya alat bantu dengar itu.
Sebelumnya, seperti remaja lain, Hilir memiliki kendali penuh atas hidupnya. Di tahun pertama SMA, dia bergabung dalam ekskul teater. Punya banyak teman, nongkrong setiap pulang sekolah, memiliki passion yang menggebu, dan kesulitan berdamai dengan isu emosional seperti remaja-remaja lain seusianya.
Pada pertengahan kelas satu, dia terkena demam yang sangat tinggi hingga mengharuskannya berada di tempat tidur lebih dari satu minggu. Benar. Demam sialan itulah yang mengawali semuanya.
Saat sadar, Hilir sudah tak dapat mendengar suara jam digital di sebelah tempat tidurnya atau suara cuitan burung di taman depan rumahnya. Saat ia ke kamar mandi, ia tak dapat mendengar suara gemericik air yang mengisi bak mandi. Pagi itu begitu hening.
Ketika ke rumah sakit, dokter bilang demam yang diderita Hilir turut berperan membuat kemampuan pendengarannya melemah, meski sang dokter menegaskan jika gejala gangguan pendengaran itu sudah timbul sejak lama. Dokter menyarankan untuk memakai alat bantu dengar, namun Hilir menolak. Rasanya memalukan pergi ke sana ke mari menggunakan alat bantu dengar yang dengan sangat jelas terlihat bertengger di telinga.
Semua akan baik-baik saja. Kehidupan dan aktifitas Hilir tidak akan terganggu hanya karena tidak bisa mendengar suara-suara kecil. Namun, setelah beberapa bulan, kemampuan mendengarnya makin parah. Hilir mulai kesulitan mendengar perkataan teman-temannya saat mengobrol. Ia jadi tidak terlalu bisa mengikuti pembicaraan. Hal itu membuatnya lebih sering diam saat nongkrong dan beberapa kali tak menyahut ketika dipanggil.
“Tidak papa, hanya kepikiran sesuatu,” kata Hilir saat teman-temannya bertanya. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Tidak berani. Ia tidak ingin dikasihani, atau yang lebih buruk, dianggap sebagai anak yang cacat dan ditinggalkan.
Hilir masih bertahan dengan keadaan itu sampai suatu ketika, kedua orang tuanya menyadari pendengarannya memburuk. Mereka kembali ke dokter dan dokter mengatakan Hilir berkemungkinan menjadi tuli sepenuhnya.
Hilir masih ingat bagaimana histerisnya ibu waktu itu, sementara ia sendiri langsung merasa dunianya runtuh. Sepulang dari dokter, ibu langsung memutuskan Hilir akan menjalani sekolah privat di rumah.
“Dia masih bisa berangkat ke sekolah dengan alat bantu dengar,” kata ayah.
“Dia akan di-bully Ayah! Kau mau anak kita jadi bahan tertawaan seluruh sekolah?” ibu mendebat.
Perkataan itu membuat ayah terdiam. Ibu benar. Fenomena zaman sekarang memang sangat memprihatinkan dan tak dapat dimengerti. Anak-anak muda zaman sekarang menganggap seseorang yang melakukan kesopanan dan tatakrama sebagai orang yang kampungan, dan malah mengumbar-umbar aib sendiri dengan bangga di sosial media hanya untuk memviralkan diri. Agar lewat di ‘fyp’ kata mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Kali Lima Belas Ribu
Short StoryDiterbitkan dalam buku kumpulan cerpen "Lembar yang Berbeda" -- Demam sialan itulah yang mengawali semuanya.