Disclaimer:
Cerita ini memang terinspirasi dari music video di atas. So enjoy ❤Sore itu, aku melangkahkan kakiku ke sebuah gedung yang memang tak asing buatku, tempat dimana aku mengukir kenangan di akhir masa sekolah. Sudah banyak yang berubah sejak terakhir aku lulus 10 tahun lalu. Udara yang sejuk yang meniup rambut panjangku yang terkuncir masih bisa kurasakan. Lapangan sepakbola yang menempati 1/3 luas sekolah juga masih menghampar hijau. Hanya bangunannya yang tampak berubah. Dan alasanku membuka memori sekolahku kembali, tentu karena aku akan bertemu dengan sahabatku. Sahabat yang akhirnya menjadi cinta pertamaku di akhir masa sekolah. Saat sedang bernostalgia dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba aku mendengar ada suara sepatu mengetuk lantai dari belakang. Aku tahu siapa dia. Dia cinta pertamaku di SMA. Aku menghentikan langkahku dan berpaling menghadapnya. "Hey Di. Sudah lama menunggu?" ujarnya. "Oh, enggak kok, Dri. Baru saja aku datang dan masih sempat bernostalgia sebentar," jawabku sambil memperhatikannya. Dia tidak pernah berubah. Terlihat lebih tinggi dengan kaos oblong warna putih dan jaket parasut abu-abu dipadu dengan celana jeans biru tua dan sneakers. Tak ketinggalan, kupluk hitam kesayangannya selalu berada di kepalanya, melindungi rambutnya dari angin yang segar di sore hari agar tidak berantakan. Dia tidak tampan, entah apa yang membuatku menambatkan hati padanya, walau dia tak tahu. "Yuk, katamu mau ngobrol? Cari tempat yang strategis saja. Anginnya sedang bagus," ajaknya sambil memimpin jalan dan kini aku yang mengekor. Rupanya dia menuntun jalan ke atap sekolah tempat favoritnya untuk mengabadikan moment di sekolah.
Sesampainya di atap sekolah, kaos biruku langsung ditiup angin sejuk yang lembut. Aku memejamkan mataku, menikmati segala kenikmatan Tuhan di bumi dan menghirup sebanyak mungkin udara yang mungkin akan jarang bisa kurasakan seperti ini. Aku membuka mataku dan melihatnya memperhatikanku. Ia tersenyum hangat. Senyum yang sama dan mata yang selalu teduh sejak 8 tahun terakhir aku melihatnya. "Sini Di, duduk di sebelahku," ujarnya sambil menepuk beton konstruksi bangunan yang sedang ia duduki, dan akupun duduk di sebelahnya. "Sudah lama ya, Dri kita ngga kesini. Apa kabar kamu?" tanyaku membuka obrolan yang 8 tahun lalu terputus. "Aku baik. Kamu sendiri gimana?" "Sama. Masih sibuk sama project fotomu?" "Yah begitulah. Hobi yang jadi uang selalu punya kenikmatan tersendiri" "Ahaha. Iya sih. Ngomong-ngomong, gimana persiapanmu sama Claudia? Sudah sampai mana?" "Ah, ya itu. Sudah clear sih. Kamu datang kan minggu depan?" "Datang dong. Masa pernikahan sahabatku sendiri ngga datang." Dan setelah percakapan yang singkat itu kami saling diam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Menyapa sejuknya angin dan hangatnya matahari sore.
Aku pun tergelitik untuk mencuri pandang ke arahnya dan yang kulihat adalah wajah yang terkesan menyembunyikan sesuatu. "Kamu kenapa, Dri? Ada masalah?" tanyaku sedikit khawatir. Dia tersadar dari lamunannya sendiri, "Nggak kok, Di. Lagi mengagumi senja," jawabnya dan aku tahu dia menyembunyikan sesuatu. "Kamu tahu kan kalau kita ngga bisa saling membohongi? Cerita aja. Siapa tahu bikin lega," Dia terdiam sebentar dan akhirnya dia luluh juga dan mulai bicara. "Sebenarnya, aku ngga mencintai Claudia," Aku menatapnya dengan ekspresi yang tidak dapat menjelaskan betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa sahabatku tidak mencintai wanita yang akan menjadi istrinya seminggu lagi. "Aku tahu. Aku adalah laki-laki yang brengsek ketika aku mengakui hal ini seminggu sebelum aku menikah. Kami menikah karena perjodohan orang tua kami yang memang sudah lama berteman. Seandainya aku bisa memilih keadaan..." Kini giliran aku yang terdiam. Aku sangat paham sahabatku ini. Dia bukan pribadi yang suka dipaksa, berjiwa bebas lebih tepatnya. Dan kalau dia melakukan sesuatu yang dia tidak suka, pasti itu dibawah tekanan. "Seandainya bisa memilih keadaan? Lalu kenapa kamu ngga coba berontak? Ini hidup kamu, Dri. Kamu berhak menentukan kamu mau menikah dengan siapa," "Tapi aku ngga bisa berontak, Di. Ngga bisa. Aku terlanjur mencintai seseorang," Aku semakin panas ketika mengetahui bahwa sahabatku yang selalu memperjuangkan dirinya tiba-tiba memilih untuk kalah. "Kenapa kamu ngga perjuangkan orang yang kamu cintai, Dri? Ini bukan kamu. Kamu ngga biasanya seperti ini," Dengan tatapan sayu, dia menjawabku, "Aku kalah, Di. Kalah dengan keadaan. Aku ngga bisa memperjuangkan cintaku karena kami berbeda," "Maksudmu?" "Orang yang tidak bisa aku perjuangkan adalah kamu, Diany," Dunia tiba-tiba berhenti bergerak, waktu berhenti berdetak, dan rasanya tidak menyentuh bumi. "Kamu, apa, Dri?" Dia hanya terdiam dan menundukkan kepala, "Jawab, Adrian!" ujarku sambil menggoncangkan tubuhnya. "Aku mencintaimu, Diany." jawabnya sambil menatapku tajam dan sayu. "Aku terlalu bodoh untuk menyadari cintaku karena baru kusadari ketika kita di penghujung masa SMA. Saat kita mulai sering bertemu secara rahasia, aku mulai menyadari bahwa aku jatuh cinta padamu. Aku bodoh, Diany. Bodoh. Aku bahkan tidak berani menghubungimu sejak 8 tahun yang lalu. Aku takut menerima kenyataan bahwa kita berbeda, Diany. Saat kamu berlutut di kapel, aku bersujud di surau. Saat aku mendaraskan dzikir, yang keluar dari mulutmu adalah doa rosario. Kita terlalu berbeda. Aku tidak bisa memperjuangkanmu. Aku takut hal ini menyakitkanmu. Aku terlalu mencintaimu. Maafkan aku, Diany," ujarnya sambil menahan air mata. Aku menatapnya nanar. Seluruh air mataku sedang berlomba-lomba keluar. Ya, aku dan dia memang berbeda. Sangat berbeda. Sebagian dari diriku tidak akan menerima dia dan begitu sebaliknya. "Jadi ini jawaban semua doaku? Ternyata selama ini cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Terimakasih, Adrian. Terimakasih. Setidaknya kini aku tahu bahwa selama ini aku tidak berjuang sendiri. Dan maaf, mungkin kamu benar. Kita tidak akan pernah bisa saling memperjuangkan," ujarku dengan nada datar dan tatapan nanar. Dia menatapku nanar dan sendu. Mungkin juga tidak menyangka bahwa perasaanku pun sama dengannya. Pahit memang dipermainkan oleh takdir dan keadaan, tapi aku tidak akan pernah menjadi miliknya, kan? Dia mendekatkan tubuhnya dan memelukku. Pelukannya hangat. Aku bisa menghirup aroma maskulin khasnya, setidaknya untuk terakhir kali. "Kamu tahu? Aku paling suka saat dipeluk. Jantungku berdetak sangat teratur. Sangat nyaman," ujarku disela-sela pelukannya. Aku merasakan tubuhnya semakin erat memelukku. "Boleh kita berdiam dalam suasana ini sebentar saja?" tanyanya dan yang hanya kujawab dengan senyuman tanda mengizinkan. Kurasakan wajahnya menarik segaris senyum tanpa beban. Setelah beberapa saat, ia mulai mengendurkan pelukannya. "Oh iya. Aku punya hadiah, yah hitung-hitung hadiah pernikahanmu nanti. Aku akan memberikannya langsung untukmu dan tidak pada saat pesta pernikahan nanti karena ini sangat berharga," Dia terlihat bingung tapi tertarik juga. "Hadiah seperti apa yang kamu maksud?" "Sudah. Pejamkan saja matamu dan kamu akan tahu nanti." Dia lalu memejamkan matanya dan aku mengeluarkan sebuah kotak berisi berlian ukuran sedang. Aku tidak ingin memberikannya dengan cara biasa. "Sudah belum hadiahnya?" tanyanya. "Sabar, Dri. Sebentar lagi kamu akan tahu hadiahnya." Tiba-tiba terbesit dalam benakku cara memberikan hadiah itu. Berlian tersebut kemudian aku keluarkan dari tempatnya dan gigiku menggantikan tanganku. Aku mendekatkan kepalaku dan mendaratkan bibirku pada bibirnya. Ia awalnya kaget dan segera menerima berlian itu dengan giginya. Aku menjauhkan kepalaku darinya dan menyerahkan kotak wadah berliannya "Ini kotaknya. Simpan berliannya baik-baik," pesanku padanya. Ia menerima kotak itu dan meletakkan berlian itu pada kotaknya. "Terimakasih, Diany," ujarnya. "Sama-sama. Ayo kita pulang. Matahari hampir tenggelam seluruhnya,"
Kami meninggalkan atap sekolah yang menjadi saksi pertemuan kami yang terakhir. Kami menyusuri lorong sekolah sendiri-sendiri. Tiba-tiba ada tangan yang menahan dan menarik lenganku. Aku terkejut ketika aku sudah mendarat pada tembok lorong lantai 2 dan melihat bahwa Adrian lah yang menarikku. "Dri.." ujarku terputus. Dia tidak menjawab dan tiba-tiba mendekatkan bibirnya ke bibirku. Ya, dia menciumku. Penyaluran rasa rindu yang terpendam menurutku. Namun semakin lama ia semakin menuntut dan intens dengan bibirku. Aku tidak memberontak. Aku menikmati setiap pagutannya yang menuntut di bibirku. Candu. Dia telah menjadi candu bagiku. Mungkin itu adalah caranya menyatakan selamat tinggal.
-Satu minggu kemudian-
Aku mematut diriku pada sebuah cermin di atas kepala yang tersedia di mobil. Sudah cukup rapi, begitu kata hatiku. Aku keluar dari mobil dan menaruh tali clutch pada bahuku. Dress maroon dengan aksen hitam pada pinggang dan wedges warna coklat menjadi pilihanku untuk menghadiri pernikahan sahabatku dan cinta pertama masa SMA ku, Adrian. Aku memasuki tempat pesta yang digelar dengan konsep garden party. Tidak ada pelaminan yang megah di sana. Hanya dekorasi kursi pengantin yang sederhana dengan bunga mawar pink dan putih di sekitarnya. Baju yang mereka kenakan juga tidak mewah. Hanya setelan jas warna putih untuk si pria bersanding dengan gaun putih semata kaki dan aksesoris kepala untuk si wanita. Aku melihatnya bahagia dengan Claudia, sangat bahagia. Mereka menghampiri dan bercengkrama dengan tamu undangan satu persatu. Aku mengambil segelas minuman yang tak jauh dari tempatku berdiri. Saat kubalikan badan, sudah ada kedua mempelai di belakangku. "Hei, Di," sapa Adrian. "Oh, hei Dri. Selamat ya. Semoga hidup barumu senantiasa mendapat berkat," ujarku sambil menyalami Adrian. Tatapanku beralih ke wanita di sebelahnya yang sekarang adalah istri Adrian, Claudia. "Hei, Clau. Selamat ya. Tahan-tahan deh ya sama sifat bebalnya Adrian," gurauku pada Claudia yang disambutnya dengan senyuman ramah. "Iya nih. Bebal banget anaknya. Semoga ngga sampai ada pertengkaran karena beda menaruh barang ya di rumah," ujar wanita itu membalas gurauanku. "Hei, hei. Jangan buka rahasia perusahaan dong. Biar tahu sendiri nanti passwordnya," timpal Adrian pada kami berdua yang hanya kami balas dengan tertawa.
Mereka melanjutkan berkeliling menghampiri tamu-tamu yang sedang menikmati dan berbahagia dengan pasangan baru ini. Sebelum menjauh, ia memalingkan muka padaku dan mengeluarkan berlian pemberianku dari kantung jasnya sambil tersenyum. Aku melihatnya dan membalas senyumnya. Aku dan dia memang harus menyerah dengan keadaan, tetapi setidaknya aku akan bebas menaruhnya di hatiku kapan pun aku mau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Navy
RandomBuah pikir, buah tutur, dan buah hati. Antologi Navy berisi tentang cerita pendek yang mungkin lekat dengan kehidupan sehari-harimu. Mungkin, kamu juga mengalami hal ini dalam hidupmu, entah menjadi sang tokoh utama atau yang tersingkir. Hidup mem...