Wasiat Abi

114 6 5
                                    

Keranda yang dijunjung tinggi membuat Isak Arini semakin tak tertahan. Ia meraung kala para santri dan jajaran pengurus pondok pesantren mulai memberangkatkan jenazah kyai Harun, menuju pembaringan terakhir.

"Abah!!!" teriaknya lemah diiringi tangis yang tak tertahan. Arini hanya bisa menangis tersedu di pelukan Arum. Namun tiba-tiba saja tumpuannya lemah, kakinya merosot dan ... Lhap.

Arini jatuh tersungkur dengan mata memejam. Ia pingsan lantaran tak sanggup meliahat abahnya mulai dibawa menuju tempat peristirahatan terakhirnya.

Arum pun cemas melihat keadaan Arini. Ia meminta bantuan para santriwati yang ada di sana untuk membantunya membawa Arini Masuk ke dalam.

Beberapa santriwati pun berbondong-bondong membantu Ibu Nyai.

Cukup lama menunggu Arini sadar, akhirnya gadis itu siuman. "Kamu tidak apa, Arini? Ada yang sakit, Sayang?" cemas Arum sambil menatap nanar anak sambungnya itu. Meski dirinya hanya ibu sambung, tapi ia berjanji akan menganggap Arini seperti anak kandung.

Arini menggeleng lemah dengan air mata yang tumpah. "Tidak apa, Umi. Bagaimana pemakaman Abah?"

Arum tersenyum menenangkan, meski dirinya sendiri juga terpukul atas meninggalnya Abah Harun, suaminya. "Kamu tenang saja, Rin, Abah orang baik, segalanya pasti dipermudah. Alhamdulillah, pemakaman berjalan lancar.

Arini tersenyum meski cukup samar. Gadis itu bangkit dari posisinya, lalu beranjak duduk di atas kursi panjang yang menopang tubuhnya. Ia memeluk erat uminya seolah tidak ingin merasakan kehilangan lagi.

"Umi harus selalu sehat, ya? Cuma Umi yang aku punya, sekarang. Abah sudah pergi, aku gak mau ditinggal Umi."

Arum tersenyum dan membalas pelukan itu tak kalah erat. Ini yang ia takutkan. Arum tidak tega meninggalkan Arini sendirian, di usianya yang masih terbilang cukup labil. Tapi ia juga khawatir jika penyakit diabetesnya itu tidak akan membuat umurnya bertahan lama.

Tiba-tiba saja, suara ketukan dari pintu terdengar cukup keras. Sekilas, bayangan Ustadz Juan bersama dengan beberapa pengurus pondok, terlihat tengah berdiri gagah di luar sana.

"Masuk!" ujar Arum cukup keras.

"Assalamualaikum," salam Juan dan yang lainnya.

"Wa'alaikumussalam," jawab Arum dan Arini.

"Silakan duduk, Ustadz." tawar Arini. Juan dan lainnya pun duduk.

Pandangan Juan seketika tertunduk, saat menyadari tatapan dirinya dan Arini tidak sengaja beradu. Dari ekspresi Arini, mimik wajah gadis itu menampakkan semburat kebingungan. Ada apa gerangan, hingga semua pengurus pondok datang ke rumah utama?

"Ibu Nyai, maaf sebelumnya jika kedatangan saya lancang. Saya juga sengaja mengajak jajaran pengurus agar tidak timbul fitnah, mengingat di rumah ini hanya ada Ibu Nyai dan Ning Arini."

Arum tersenyum ramah. Bahkan, kalaupun Ustadz Juan datang sendiri, perempuan itu tidak akan cemas, karena ia sangat yakin, jika Ustadz Juan adalah sosok lelaki yang baik dan bisa menundukkan pandangannya.

"Tidak apa Ustadz Juan, saya percaya kalau kamu lelaki baik-baik. Kalau boleh tahu, ada perlu apa ya Ustadz Juan sampai repot-repot datang ke mari?"

"Ekhem,"dehem Juan. Setelahnya, barulah ia mengungkapkan niat kedatangannya ke mari. "Emmm ... sebenarnya, kedatangan saya ke sini hanya untuk menyampaikan wasiat dari almarhum Abah Kyai semasa beliau hidup."

Alis Arum dan Arini saling bertautan. Kerutan samar pun tampak jelas pada dahi keduanya. "Wasiat apa?" tanya Arini lemah.

Tidak berniat menjelaskan, Juan hanya memberikan selembar kertas tulisan tangan yang berada di genggamannya. Lelaki itu menyerahkan pada Arini agar ia bisa membacanya langsung. "Ini adalah tulisan tangan Abah Kyai sebelum Beliau meninggal."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 20, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ustadz Juga ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang