Bacanya pelan-pelan aja, oke. Sebab saya sadar, chapter ini sengaja dibuat membingungkan.
***
Kepulan kabut lembut mengudara di antara hembusan napas. Cakrawala sewarna susu keruh melatarbelakangi seluruh pemandangan. Musim dingin Desember membuat sebagian orang melindungi tubuh di balik jaket tebal nan menggembung bak bola footy.
Inilah gadis itu. Berjalan menyusri tepian Crayton Street seorang diri, berteman rinai salju yang terus-menerus jatuh ke aspal menjelma gundukan putih.
Aku melipat kedua tangan di depan dada kala angin menerpa. Membuat dinginnya musim salju semakin dingin. Layaknya kehidupan yang selama ini kujalani. Dingin tanpa kehangatan.
Berjalan di tengah kepingan salju cukup membuat bibirku kering, seiring hembusan napas, ciptakan asap kecil. Lantas menunduk, menyembunyikan separuh wajah di antara lilitan syal rajut di bawah dagu. Terpahat rupa wajah pucat dengan sulur rambut keemasan yang membingkai di antara pipi. Wajah yang selalu murung, seolah menggambarkan kehampaan. Tiada istilah kata 'cantik', untuk gadis sepertiku.
Terus melangkah, mengabaikan kerumunan manusia yang kulalui di tepi jalan. Tampak pula deretan chevrolet yang terparkir asal dan rumah-rumah klasik yang di bagian atapnya tertutup reruntuhan salju. Lirikan sinis dan tatapan penuh curiga tak tertinggal mengintai ke mana langkah kaki ini menuntun. Diiringi desas-desus bisikan terdengar samar.
Hal ini sudah menjadi keseharianku tak ubahnya dua tahun sejak kejadian itu berlalu. Diriku seolah terasingkan. Mendekat saja mereka menghindar. Aku diperlakukan layaknya monster menakutkan yang membawa bencana bagi siapa pun yang mendekatinya. Namun masih dianggap sebagai bagian dari kehidupan adalah hal yang harus kusyukuri saat ini. Meski terkadang gadis ini kerap kali diperlakukan bukan layaknya manusia.
Atau aku memang bukan manusia?
Entah apa yang mereka pikirkan tentangku. Nalarku pun tak kuasa mengurai puzzle teka-teki tentang banyak hal di luar akal sehat yang terus membuntuti. Dua tahun lamanya kanehan tiada henti mengusik hidupku. Terus menerus dihantam kejadian sulit dicerna logika. Sebagian orang bahkan menganggapku gila.
Manik mata emerald ini menyapu ke segala arah. Tanpa terasa diriku telah tiba di sebuah tempat dengan hamparan pohon eucalyptus kering, mengular pada suasana yang lebih kelam, sepi dan dingin. Putih salju terasa mencekam. Dengan perpaduan dahan-dahan yang tak berdaun serta kabut tebal yang menggantung rendah di udara. Suhu dingin dua kali terasa lebih menusuk, juga tidak nampak apakah matahari masih bertengger di atas sana. Namun anehnya ada sepercik kehangatan setiap kali ragaku berada di sini.
"Waktunya balas dendam, Elora!" bisikan itu kembali datang. Buru-buru aku mengenyahkan suara sialan yang selalu mengganggu itu, tetapi ini terlalu nyata jika dideskripsikan sebagai ilusi belaka.
Telapak tanganku berganti menyumbat lubang telinga. Anggap saja tidak pernah mendengar bisikan itu. Meski akal dan hati bertolak belakang, tapi aku hanya ingin hidupku berjalan normal layaknya manusia.
"Kau masih belum mempercayai keberadaanku?"
Kali ini suara itu terdengar lebih nyata. Langkahku seketika terhenti. Tubuhku meremang, merasakan aura panas di belekang sana. Angin berhembus kencang, mengudarakan serpihan salju menerpa wajah. Bergejolak pada kombinasi dingin dan panas yang sangat aneh.
Enggan menoleh, bergegas kulangkahkan kaki lebar-lebar, menyisakan cekungan jejak sepatu di atas salju putih. Lantas setengah berlari menuju sebuah rumah besar bergaya klasik. Satu-satunya rumah yang masih setia berada di tempat ini, itu rumahku. Di depan bangunan itu berdiri kokoh sebuah mercusuar tua dengan dinding berbatu keperakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maze of Revenge
Fantasy[Adventure, Fantasy, Mystery] Kutukan, kematian, misteri, dendam, petualangan, darah, bersimbah. Elora Ochean terjebak dalam rumit kehidupan yang sulit dicerna logika. Misteri kematian keluarganya menjadi petualangan yang harus dipecahkan. Berkelana...