"Terus, lo gak bakal ikut ujian dong?"
Dia Chandra, satu-satunya temanku di sekolah. Sekaligus teman masa kecilku. Karena aku susah berbaur, orang lain jadi mudah melupakanku.
"Kayaknya? Soalnya gue masih belum berani buat bicarain ini ke om sama tante lagi," jawabku seadanya.
Chandra memakan risol seribuan yang dijual di kantin dalam satu lahapan, lalu membalas, "Ho mahu nyehah gamfang banhet? Ini uwihan kehuhuan hoh??" (lo mau nyerah gampang banget? ini ujian kelulusan loh??)
Pft– Ah, dia ini kenapa konyol sekali?
"Kalo mau ngomong, risolnya ditelen dulu. Jadi kayak bocah paud lo," Aku menawarkan sapu tanganku padanya, karena melihat ada potongan wortel yang masih tersisa di bibirnya.
Chandra mendengus sambil membersihkan mulutnya. Aku tertawa kecil, sarkas, "Gue gak serius kok, cuma capek. Gue ngomong gitu cuma buat ngehibur diri."
Benar. Ini caraku menghibur diri. Sakit memang, tapi aku menyukainya. Entahlah, apakah aku bahkan bisa disebut seorang masokis.
"Nay, lo inget kan kalo masih ada gue?"
Aku tersentak. Apa maksudnya?
"Gue cuma mau bilang, kalo lo gak perlu nanggung semuanya sendiri. Masih ada gue, sahabat lo, gak perlu sungkan buat minta tolong," lanjutnya.
Aku ingin menanggapi, tapi Chandra lebih cepat daripada aku, "Gue juga gak bakalan ngelarang lo buat overthinking. Capek itu wajar, dan orang-orang punya caranya sendiri buat ngatasin. Tapi jangan lupa buat kembali bangkit ya? Kanaya yang gue kenal gak gampang nyerah."
***
Aku tidak mau terbuka tentang semua masalahku? Mungkin lebih seperti aku tidak ingin orang lain kesusahan karena masalahku.
Tenagaku terkuras habis hanya dengan memikirkannya. Masalah kali ini memang cuma sedikit, tapi kepalaku sangat berisik, aku pusing.
Melepas sepatu dengan perlahan, aku melirik ke dalam rumah apakah ada orang di dalam. TV ruang keluarga, tante sedang menonton berita cuaca di sana.
Ah, aku lelah. Aku tidak perlu menyapanya dan langsung pergi ke kamar bisa kan?
"Loh? Naya udah pulang?" Tante menyadari kehadiranku yang sedari tadi hanya melamun di depan pintu dengan tatapan kosong.
"Nak, tante mau bicara sebentar boleh?"
Apa ini? Baru pertama kali aku mendengar tante dengan nada suara seserius itu.
"Ada apa tan?" tanyaku setelah mendekat ke sofa.
Tante menarikku untuk duduk di sebelahnya lalu berkata, "Maaf, Kanaya."
Hah?
"Uang SPP kamu udah tante kemarin, maaf soalnya tante kurang perhatian sama kamu. Tante kurang peka, tante gak bergerak cepat, tante mengabaikan kamu."
Matanya sayu, keriput di dahinya semakin terlihat jelas akhir-akhir ini. Ah, aku baru menyadari ini, ada beberapa helai rambut tante yang berubah putih.
"Kanaya, tante mulai sadar akhir-akhir ini kalau kita jarang bicara berdua begini ya? Kamu lebih sering ngurung diri di kamar daripada berinteraksi sama tante, Jia, atau sama om kamu."
Jadi begitu.
"Maaf, maaf. Cuma kata maaf yang bisa tante ucapin."
Rasa takutku mengalahkanku.
"Nak? Kamu maafin tante kan? Kenapa diem aja?"
Selama ini bukan hanya mereka yang mengabaikanku. Aku, aku juga mengabaikan fakta bahwa aku sebenarnya diterima di sini.
Aku selalu merasa bahwa aku bukan bagian dari keluarga ini, yang ternyata hanyalah delusi dari bisikan yang terus menerus berisik di kepalaku.
Komunikasi adalah segalanya, seharusnya aku melakukan itu. Agar aku dapat mengetahui sesuatu yang mereka rasakan. Aku juga seharusnya melakukan komunikasi dengan Chandra. Aku tidak harus menanggung semuanya sendiri. Aku bisa membuatnya lebih ringan dengan berkomunikasi.
Aku ingin menjawab semua perkataan tante, tapi suaraku bergetar. Mataku kabur dan aku jatuh ke dalam pelukannya. Dia mengusap pundakku dengan lembut. Hangat, pelukannya terasa hangat.
Aku kalah. Tapi kalah bukan berarti akhir.
to be continued
Chandra Adinata
Kali ini, pada halaman ini, saya membiarkan perasaan menuntun jari saya untuk menulis bagian ini. Diperkenankan menegur untuk sesuatu yang salah terhadap tulisan saya dengan etika yang baik, saya sangat menghormati itu. Tetaplah berkomunikasi, dan semoga hari anda menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgotten ; Lee Haechan
FanfictionI've been forgotten a number of times and being forgotten is the scariest thing, because we all die. We didn't live in memories because we're forgotten.