Satu; Rumah.

14 1 1
                                    

Dari kecil aku tidak mempunyai orang tua. Mereka meninggal. Kata tante, mereka meninggal karena tabrak lari. Mereka menyelamatkanku disaat aku hampir tertabak oleh truk pada umur 2 tahun.

Untungnya, keluarga tante ingin menerimaku. Yah, walaupun di dalamnya masih belum sepenuhnya menganggapku keluarga.

"Tante, uang spp aku udah nunggak 3 bulan. Kata guru BK, kalau minggu depan gak dilunasin, aku gak bisa ikut ujian semester."

"Nak, kamu bilangnya sama om ya. Tante lagi gak pegang uang."

Aku tersenyum, "Gak apa-apa, Tan."

Lantas aku segera pergi dari dapur. Dengan langkah gontai, aku memikirkan bagaimana jika aku tidak bisa ikut ujian? Apakah aku tidak akan lulus?

"Ah, om! Om udah pulang kerja? Habis jemput Kak Jira les ya?" tanyaku melihat Om Abi melepas sepatu di teras.

Dia tidak menjawab. Sudahlah, tidak apa-apa. Omong-omong, tas milik Kak Jira bagus juga, baru ya? Pasti mahal.

"Anu om, uang spp aku udah nunggak 3 bulan. Kalau gak dilunasin minggu depan, aku gak bisa ikut uji--"




"Kanaya, om lagi gak pegang uang."

"Oh ... iya om."




"Mas, Nak. Ayo makan malem dulu."

Waktunya makan malam. Baiklah, kita tunda dulu waktu sedihnya. Soalnya, masakan tante itu yang paling enak sedunia!!!

"Jira sayang, makan yang banyak dong kurus banget kamu sekarang."

"Bunda apaan sih, padahal aku cantik kalau kurus tau!"

"Hahaha ayah inget padahal dulu pas kecil kamu tuh gembul loh. Percaya deh, anak ayah mau kurus atau gembul juga tetep cantik di mata ayah."

Semuanya tertawa. Iya, semuanya. Soalnya aku tidak dianggap kan? Haha, tidak apa-apa.

Sudah ditampung dan diberi makan dengan baik di sini pun aku merasa sangat berterimakasih. Apalagi sampai disekolahkan, aku sudah terbiasa dengan rumah ini. Lagipula, aku juga tidak tahu bagaimana suasana rumah yang sebenarnya kan?

to be continued

Forgotten ; Lee HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang