16. Kita Semua Terluka di bagian berbeda

307 77 7
                                    

Malam ini menjadi malam pertama Zhico pulang larut malam. Sebelumnya, dirinya adalah remaja patuh yang mengikuti aturan jam malam.

Sedikit menyesal, tetapi menjadi pengalaman remaja yang paling berkesan. Memori di otaknya sekarang menyimpan lebih banyak kenangan baru.

Seperti Abizar yang ternyata bisa makan dua kali lipat di malam hari, Geo yang semakin malam pembahasannya random sekali. Sayang yang kalau tertawa pasti mukul. Teman Sayang bernama Mille dan Diana yang juga lumayan asyik.

Lelaki itu bukan anak anti sosial, dirinya mengetahui kenakalan remaja seusianya. Bolos, membangkang guru, atau merokok, dan sampai mabuk. Zhico sudah tidak asing dengan itu, karena berteman dengan Abizar membuatnya mengenal tingkatan sedang kenakalan remaja.

Namun, malam ini Zhico yang hanya mengamati pembicaraan serius antara teman-temannya, jadi tersadar bahwa remaja seusianya bisa melakukan tindakan nekad, berlandaskan hawa napsu. Apalagi, jika di tunjang dengan backup keluarga.

"Cho, apa kesan dan pesan lo karena pencapaian lo malam ini?" tanya Abizar mengepalkan kedua tangannya seperti mic dan mengarahkannya pada bibir Zhico.

"Degdegan. Takut di coret dari Kartu Keluarga." jawab Geo.

"Bukan, lo!" Sewot Abizar.

Ketiga remaja itu sedang berdiri memperhatikan rumah minimalis di hadapannya. Mereka tak ada yang berani memencet bel.

Geo menepuk pundak Zhico. "Kalo lo sampe gak di akui anak lagi, lo tuntut aja Abizar, Cho. Dia emang sesat. Udah gue bilang, lo mending deket-deket gue aja biar ikutan cerdas."

"Yang paling cerdas!" sindir Abizar.

Zhico menghela napas, menatap bergantian kedua sahabatnya. "Gak papa." jawabnya santai.

"Btw, yang rambutnya panjang, tadi namanya siapa?" Geo membenarkan letak kaca matanya.

"Kepo." jawab Abizar.

"Gue lagi ngomong sama Zhico." Geo mulai tersulut emosi. Kedua mahluk ini jika di satukan memang emosi terus.

"Mille," ujar Zhico yang sedang meratapi rumahnya.

"Dia keliatan oon." Geo menerawang jauh kejadian beberapa jam yang lalu.

Abizar dan Zhico menoleh bersamaan, menatap Geo yang nampak berpikir.

"Gak boleh ngatain!" ujar Abizar so bijak.

Zhico masih menatap Geo meminta penjelasan.

Geo berdeham. "Ya, ini si kesan pertama gue liat dia. Penilaian gue secara subjektif. Pas, Sayang-Sayang itu, sama lo pada lagi bahas kesenjangan sosial di masyarakat karena liat bocil ngamen. Dia diem aja, kaya gak ngerti pembahasan sesimple itu. Gue malah terkesan sama siapa tuh yang kalem."

"Alah, bilang aja, lo naksir Diana. Pake acara menjatuhkan perempuan lain." Abizar menonyor kepala Geo.

Geo balik menonyor kepala Zhico. "Dari pada lo, model Rania di jadiin pacar."

"Udah?" tanya Zhico membuat kedua manusia itu tak jadi saling serang. "Pulang, udah malam." usir Zhico secara halus.

Abizar dan Geo menggelengkan kepala secara bersamaan. "Kita besti. Susah-senang harus bersama!" teguh mereka.

Sedetik kemudian Geo dan Abizar saling tatap, tersenyum canggung satu sama lain. "Bestai!" ulang mereka kompak.

Tangan besar Zhico memencet bel rumah tanpa keraguan. Raut wajahnya memang menyakinkan teman-temanya bahwa dia bersedia mendapatkan hukuman apapun, namun jantungnya berdetak tak karuan sejak tadi.

ZhicoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang