13

25 6 6
                                    

Hai hai hai haiiiii

Update hehe

Happy reading❤





🍞🍞🍞

Bibir wanita itu melengkung ke bawah. Dirinya berbalik berjalan ke pojok ruangan ,tepatnya pada samping buffet televisi. Ngambek.

Lelaki berseragam loreng biru itu menggaruk pelipisnya bingung. Dihampirinya sang wanita dan ikut berjongkok di sampingnya. Ia menoel bahu sang wanita, caper.

"Hei" lelaki itu menoel lagi. Namun bukannya mendapatkan atensi, si wanita malah meringsut menjauhkan diri.

"Kok pundung? Saya kan bicara jujur."

"Bodo amat."

"Le...."

"Nggak usah panggil-panggil"

Pria itu mendekat.

"Nggak usah deket-deket juga! aku alergi sama abdi negara."

Lelaki itu tersenyum gemas. Ingin dikarungin aja terus dikurung di kamar biar nggak kemana-mana.

"Alegia...."

Bukannnya menengok, wanita itu
malah menutup telinganya rapat-rapat. "Nggak denger!"

Pria itu tersenyum. Tangannya terulur menarik lembut tangan yang menekan kuat telinganya itu. Tidak ada paksaan, tangan itu lepas mengikuti perintah.

"Jangan di tekan kaya gitu. Nanti sakit," Kata si pria. Tangannya yang bebas mengusap cuping telinga itu lembut. Menyampirkan rambut ke belakang telinga,Alegia dibuat memerah dengan apa yang pria itu lakukan.

"Jangan pergi ya?" Pinta Alegia yang dibalas gelengan oleh sang pria.

Reza tersenyum,"nggak bisa."

"Kenapa nggak bisa? Jangan bilang karna kamu lebih cinta negara daripada aku. Itu udah aku tau barusan."

Hening beberapa saat. Reza menikmati diri menyisir rambut pendek wanitanya dengan jari tangan. Otaknya berpikir, kalimat apa yang tepat untuk ia lontarkan.

"Alegia." Yang dipanggil hanya bergumam, acuh.

"Tanpa saya katakan, kamu sudah tahu kalau saya cinta sama kamu."

"Kamu lebih cinta sama negara. Aku kalah, aku juga tau itu." Alegia memotong.

Reza menghela napas. "Rasa sayang saya. Negara nggak dapetin rasa sayang saya. Kamu menang dalam hal itu."

"Alegia, demi Tuhan! Saya nggak pernah menduakan kamu. jika dengan prioritas saya, kepentingan negara diatas segalanya itu kamu anggap sebagai penghianatan, maka saya meminta maaf untuk hal itu."

Pria itu menunduk, meraih tangan wanitanya untuk ia genggam.

"Saya bukan orang yang pandai untuk mengutarakan perasaan, tapi kali ini saya ungkapkan hal ini. Sejujurnya saya nggak tega ninggalin kamu. Sebagai pengantin baru, saya juga ingin terus bersama dengan istri saya."

"Makanya tetep di rumah sama aku."

"Nggak bisa. Ini panggilan jiwa, kewajiban saya sebagai abdi negara. Jika negara membutuhkan saya, saya bisa apa? Meninggalkan segalanya. Walaupun berat, hal ini harus saya lakukan."

"Alegia, saya tidak menuntut kamu untuk mengerti betul tentang saya dan segala kekurangan saya dibanding suami-suami di luaran sana. Tapi, bisakah kamu belajar sedikit saja tentang prioritas saya? Sedikit saja, tidak perlu banyak. Hanya sedikit."

Alegia menatap manik kelam milik sang pria. Tatapan dalam itu sangat mantap. Ketegasan dan kelembutan yang saling berdampingan.

Alegia mengangguk. "Aku coba."

"Kamu ikhlas sama kepergian saya?" Reza kembali bertanya.

"Mungkin."

Terdengar ragu-ragu, namun itu cukup membuat hati Reza sedikit tenang. Ia lalu melepaskan kalung perak dan cincin pernikahan yang dipakainya. Menjadikan cincin itu sebagai bandul kalung, lalu ia pakai kan benda berkilau itu pada leher jenjang istrinya.

"Tunggu saya di tanggal 15. Percayalah! Saya akan kembali. Bandul kalung itu sebagai jaminannya, saya akan pulang untuk memakai cincin itu lagi. Saya berjanji, janji seorang tentara."

Mendengar kemantapan dalam tutur kata suaminya, Alegia dengan berat hati bisa menerima. Ia bangkit yang otomatis membuat Reza ikut menegakkan tubuh.

Dengan ekspresi yang masih masam, Alegia membenarkan seragam loreng pria didepannya.

"Kalau begitu, biar kamu inget pulang, aku juga bakal bikin janji sama kamu."

Satu alis Reza terangkat. "Apa itu?"

Menepuk bahu pria itu seolah ada debu yang menempel di sana.

"Aku nggak akan memotong rambutku. Kamu yang bakal motongin rambut aku pas pulang. Itu satu."

"Kedua, aku janji akan jadi Alegia yang berbeda. Saat kamu pulang, aku akan lebih baik lagi. Aku akan bersikap dewasa dan nggak kekanakan lagi."

"Dan yang ketiga..." Alegia menatap Reza lekat. Pandangannya serius dan mantap. "Aku janji akan belajar tentang prioritas kamu dan kewajiban kamu didalam pekerjaan kamu, kewajiban aku sebagai pendamping kamu. Aku berjanji, janji seorang istri tentara."

Reza tersenyum bangga. Ia mengambil langkah lebih dekat dengan Alegia. Reza menangkup wajah Alegia. Memejamkan mata, ia berdoa meminta keberkahan pada Tuhan Yang maha Esa. Alegia meng amin kan di dalam hatinya.

Air mata wanita itu seketika turun ketika suaminya mengecup lembut keningnya. Rasa kesal di dadanya seketika luntur terbawa oleh air mata. Ego untuk membuat Reza tetap singgah begitu menggebu-gebu, membuat nyeri hingga ke kerongkongan. Ia hanya bisa menggenggam sepasang tangan yang ada di pipinya, erat. Menyalurkan emosi yang tidak bisa di keluarkan dengan lisan.

Reza melepaskan kecupannya,beralih mengecup kedua mata yang sembab itu.

"Saya yang akan bertanggung jawab untuk airmata yang sempat turun di matamu tadi."

🍞🍞🍞





Reza....☺

ALEGIA BAKERYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang