Arletta berusaha bangun, tetapi satu cambukan telak kembali mendarat tanpa ampun di atas punggung, membuat tubuhnya langsung jatuh terlungkup. Peluh, air mata dan darah bercampur menjadi satu menciptakan noda pada dress putih yang ia kenakan. Tampak begitu lusuh dan menyedihkan.
"Ampun, Ayah!" teriak Arletta berusaha menghindar. Ia merayap, terseok tak kuasa.
Jangankan ampunan, telinga saja seolah tuli. Baron Davies tetap menjatuhkan cambukannya pada punggung Arletta. Tidak peduli pakaian gadis itu telah robek dan membaur bersama kulit yang tergores mengeluarkan darah.
Pekik kesakitan Arletta menggema ke seluruh penjuru ruangan. Agaknya tak ada yang dengar. Atau lebih tepatnyapura-pura tidak mendengar.
"Anak tidak tahu diri! Bagaimana bisa kau bermalam di kediaman Duke Wilton?! Dasar aib keluarga! Membusuk saja kau di neraka!"
"Argh!"
Pada akhirnya, Arletta hanya bisa pasrah menerima cambukan sesekali ditimpa tendangan. Ia sungguh tak berdaya. Diam, tubuhnya remuk, bergerak akan semakin mengerikan. Tubuh Arletta terkapar, bersamaan dengan pandangannya yang memburam. Dunia terasa berputar, membuat kegelapan semakin bertakhta merebut kesadaran gadis itu.
Begitu Arletta terbangun, dirinya sudah berada di kamarnya. Gadis itu mendudukkandiri. Tubuhnya terasa remuk redam. Dilihatnya pantulan dirinya pada cermin di seberang ruangan, masih mengenakan pakaian yang sama dan sama mengenaskan.
Menghela napas panjang, Arletta hanya bisa mengurusi dirinya sendiri. Perih yang dirasa seolah sudah kebal. Tak ada tangis meski kulitnnya mengelupas, hanya tersisa raut wajah dingin dan rahang mengeras penuh amarah.
Arletta memasuki kamar mandi, ia mengisi air di bak mandi dengan air dingin. Ada cermin setinggi tubuh manusia di sana. Dengan penuh kehati-hatian, Arletta melepas pakaiannya. Tubuh polosnya tampak begitu mengenaskan dengan beberapa lebam dan luka mengering.
Perlahan, ia membalikkan badan, memandang punggungnya yang sudah tak mulus lagi. Kegalauan menyusup dalam diri, ragu apakah jika ia terus memperjuangkan Duke Wilton, pria itu mau menerimanya.
Arletta menghela napas jengah, hidupnya selalu rumit.
"Arrgh!" teriaknya frustasi membanting beberapa wangian di sekitarnya.
Tubuhnya luruh, terduduk di atas lantai kamar mandi dengan linglung.
***
Arletta hanya bisa meringis ketika pelayan memakaikannya korset. Meski Arletta memasang wajah kesakitan, tetapi pelayan itu tampak tak peduli.
"Hentikan, aku akan memakainya sendiri," putus Arletta karena merasa lukanya yang belum mengering bisa terkelupas lagi jika memakai korset terlalu kencang.
Malam ini adalah pertunangannya dengan Marquess Burton. Pria tua yang selalu ia kutuk setengah mati selama hidupnya.
"Kalian, keluarlah! Aku akan merias wajah sendiri."
Mendengar perintah Arletta, kedua pelayan yang ditugaskan langsung undur diri. Kini tinggal Arletta seorang diri. Wanita itu berniat untuk kabur dari pertunangannya.
Ia pergi ke arah jendela, bersiap untuk meloncat keluar. Untungnya, Arletta memiliki kamar di lantai satu. Namun, gerakannya terhenti ketika dari kejauhan, Arletta melihat kereta kuda dengan lambang singa memasuki halaman kediaman Davies.
"Duke Wilton datang?"
Ada sedikit ide terlintas, bahwa ia akan menyusup diam-diam ke sana. Namun, belum sempat ia keluar dari kamar, seseorang membuka pintu kamar, membuat Arletta segera memperbaiki posisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose The Villain Duke
FantasyArletta Davies kembali terbangun setelah dibunuh dengan keji oleh suami dan keluarganya. Demi membalaskan dendam pada kekejaman keluarga dan mantan suami di kehidupan sebelumnya, Arletta rela menjadi istri kontrak Duke Alaric Wilton, pria kejam dan...