Siapa yang mengharapkan kicauan ibu sebagai awal hari senin? Tidak ada tentu saja.
Begitupula Marka Liandra yang selalu mencoba membuat paginya indah untuk penyemangat, tapi tidak untuk hari ini sepertinya.
"Kau dengar itu Marka? Berhentilah membaca komik detektif seperti itu dan mulailah mencari kekasih! bosan ibu melihatmu seperti ini. Lihat Chandra! adikmu bahkan sudah membawa Shoari kesini dan mengenalkannya pada ibu. Apa kau ingin melajang seumur hidup?"
Jika bisa, Marka mungkin sudah mencabut telinganya agar tidak mendengarkan suara ibunya.
"Bersabarlah ibu, aku masih 18 tahun, ibu seharusnya baru mengomeliku saat aku 10 tahun lebih tua dari umurku yang sekarang. Masih ada banyak waktu untukku memilih ibu. Tenanglah sedikit" katanya.
" Bagaimana ibu bisa tenang jika sudah hampir 10 tahun juga ibu melihat hidupmu hanya berpusat di tumpukan komik-komik itu. Kalau kau tetap begini sampai 10 tahun kedepan ibu juga tidak akan mendapat menantu. Berubahlah sedikit, justru saat inilah waktumu untuk belajar memilih. Ibu tidak ingin kau yang tidak berpengalaman ini akan memilih menantu jelmaan penyihir yang bisa membuat hidup ibu tidak tenang" Marka mendengus, berlebihan sekali ibunya ini.
"Sudahlah ibu, aku berangkat sekolah dulu, 20 menit lagi bel akan berbunyi" mengambil beberapa sandwich dan sekotak susu yang sudah disiapkan ibunya, marka kemudian berlari melewati pintu tanpa mendengar kicauan marah sang ibu. Taera memijit pelipisnya, kelakuan putranya benar benar membuatnya pusing.
Marka masih tersenyum sendiri mengingat kicauan marah ibunya yang masih mengomel meski Marka sudah melewati pagar rumah. Kadang meski menyebalkan, suara ibunya yang mengomel terdengar akan terdengar menarik ketika marka berhasil mengerjainya. Sembari mengelap keringatnya dengan handuk kecil, ia berjalan menuju loket ruang ganti.
Marka menatap tangkai ke-13 bunga matahari yang belakangan ini mengisi lokernya. Sudah hampir 2 minggu bunga cantik itu selalu ditaruh rapi dalam loker bertuliskan Marka Lijuanda. Seluruh siswa yang berada dipenjuru koridor sepanjang lokernya sudah ia tanyai satu-satu, tapi tak satupun yang mengetahui orang yang diam-diam memberinya bunga kuning cerah itu.
Ditengah rasa penasarannya, seseorang menepuk bahu kanan Marka dari belakang.
Itu jevano Jovandra, sahabat karibnya yang juga sama-sama akan mengambil baju ganti.
" Ada lagi? " Marka hanya mengangguk.
"Kira kira siapa ya yang mengirim bunga ini?", Jevano menggeleng tak tahu sebelum tersenyum aneh.
" Marka ada penggemar rahasia nih ya-"
katanya menggoda.Marka tak ambil pusing, ia kemudian hanya meletakan kembali bunga dari pengagum rahasianya lalu mengambil seragamnya.
Ia akan mencari tahunya nanti karena melewatkan jam pelajaran matematika bukanlah hal bagus untuk nilai rapotnya nanti.
"Eh tapi coba saja tanya Eca, dia selalu datang sangat pagi" Marka menoleh pada Jevano.
"Serius?" Jevano mengangguk semangat.
"Eca yang murid baru itu kan?" Jevano mengangguk lagi.
"Tapi bagamana caranya bertanya?" Jevano terkekeh.
"Urusan begini saja baru kelihatan bodohnya, siapa lagi kalau bukan Marka Liandra anak Jefi Liandra" Jevano menggoda marka.
"Lihat saja nanti" ujarnya percaya diri sebelum meninggalkan Marka menuju ke kelas mereka.
"Yakin kita akan bertanya padanya?"Jevano mendengus.
"Yakin, lagipula apa salahnya kan?" Marka mengangguk.Ia kemudian menarik baju jevano yang sudah siap dengan modusnya untuk duduk dimeja Eca.
KAMU SEDANG MEMBACA
The sunflower - MARKHYUCK
FanfictionTentang Marka yang penasaran pada seseorang yang mengiriminya bunga matahari belakangan ini