Sati

88 13 15
                                    

Pernahkah kalian memikirkan kemungkinan atas kehidupan sebelum kalian di lahirkan di dunia ini?

Bukan. Ini bukan tentang masa kandungan atau apalah yang dicantumkan dalam buku biologi perihal zigot.

Ini sesuatu yang lebih jauh dari itu.

Tentang kondisi dimana kalian juga hidup sebagai seseorang dalam sebuah kehidupan yang mana membuat kalian mau tidak mau memiliki kenangan. Atau mungkin juga bisa disebut takdir. Karena konon katanya semua yang terjadi memang sudah memiliki ketetapan dari alam semesta.

Tapi jika memang benar begitu, bukankah ada alasan tersendiri mengapa aku mengetahui sedikit gambaran kehidupanku sebelum ini?

Semula berawal dari sebuah mimpi yang terus menerus menghantuiku. Mimpi atas diriku, dalam wujud seorang yang aku yakini sebagai perempuan bernama Sati. Alurnya selalu sama, diawali dengan seorang pria tua yang sepertinya adalah Ayah Sati yang sangat menyayangi putrinya, keluarga yang benar-benar harmonis dengan ibu dan beberapa kakak perempuan yang tidak dapat aku hafalkan namun aku tahu bila mereka benar-benar menyayangi Sati. Semua berjalan baik, bahkan terlalu baik untuk jadi nyata dengan tempat tinggal yang menurutku sempat membuat tidak ingin bangun terlebih dahulu.

Namun pada satu titik semua itu seakan diputarbalikkan, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi namun aku selalu terbangun tiap kali kisah hidup Sati melompat beberapa waktu setelah pernikahannya. Melewati beberapa peristiwa yang mungkin dinilai tidak begitu penting. Alam semesta agaknya hanya menginginkanku untuk mengetahui dua hal dari kehidupan Sati.

Pertama, kelahirannya yang sangat membahagiakan hingga hidupnya benar-benar terasa seperti impian para anak perempuan yang ada di dunia ini.

Kedua, kesengsaraannya yang manasecara ironi justru menjadi tontonan keluarnya sendiri.

Alam semesta mungkin mau-mau saja membocorkan semua kisah kehidupan Sati padaku, tapi dia pasti ingin membuatku memahami dasar masalahnya lebih dahulu. Yang sayangnya aku tidak pernah tahan.

Tiap kali aku memimpikan hal ini, aku yakin bila keesokan harinya aku akan terbangun dengan kondisi demam tinggi. Seakan api yang membakar tubuh Sati, ikut dirasakan panasnya oleh tubuhku.

Peristiwa kedua yang aku lihat adalah Sati yang dipermalukan oleh keluarganya sendiri setelah menikah dengan seorang pemuda yang dicintainya. Untuk kelanjutannya, aku hanya bisa berspekulasi apakah Sati dibakar hidup-hidup oleh keluarganya karena dianggap telah mencoreng nama baik mereka, atau justru Sati sendiri yang memutuskan untuk mendatangi si api.

Karena tidak lagi tahan dengan semua ini.

"Parvati. Parvati!"

Hal pertama yang aku lihat kala membuka mata adalah Kak Gangga yang berdiri di samping ranjang ku dengan panik. Matanya terlihat sedikit basah karena menahan tangis tapi bibirnya terlihat sedikit ditarik ke atas. Merasa senang seakan usahanya untuk membangunkanku akhirnya berbuahkan hasil. Jemari lentik Kakak memegang keningku yang sepertinya terhalangi oleh sebuah kain basah. Air yang aku pikir keringat mungkin juga bercampur dengan itu.

"Ibu! Ayah! Parvati sudah sadar!"

Ah, lagi-lagi.

Aku bermimpi itu lagi.

Tapi kali ini sedikit berbeda. Agaknya aku lebih lama terlelap dalam tidur menantang alam semesta untuk menunjukkan lebih banyak lagi guna memuaskan rasa penasaran. Kakak dan kedua orang tuaku pasti panik kala aku tidak kunjung bangun.

Setidaknya kini aku tahu sebuah kebenaran. Sati, dia tidak dipaksa ataupun diancam, dia dengan senang hati melemparkan tubuhnya pada nyala api.

"Maaf Pak Himawan, tapi sebelumnya ada sesuatu yang ingin saya sampaikan secara pribadi."

The Taste of AsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang