Alkisah di alam yang berseberangan dengan alam nyata hiduplah sekelompok demit yang kadang rumit. Ada Poci yang merupakan demit sadboy. Ada Tutu, si anak kecil banyak duit. Ada Ruwo, demit bapak-bapak yang eksis di facebook. Ada Nenek Gay, mbah utinya para demit. Lalu ada Kakek Cang, mbah kakungnya para demit alias suami Nenek Gay. Mereka semua tinggal di satu tempat yang disebut DP. Bukan Dewi Persik, tapi DUNIA PERDEMITAN. Catat!
Pada suatu hari yang cerah, Poci sedang duduk termenung di atas batu. Wajahnya berbanding terbalik dengan cuaca hari ini, sangat mendung. Dia sedang memikirkan nasibnya yang tak kunjung dapat teman mati. Terlebih lagi cintanya selalu ditolak tanpa perasaan oleh demit idaman. Yah ... mungkin karena demit idamannya tidak punya hati. Maklum saja, perutnya bolong.
"Gue nih kapan punya gacoan? Ya kali hidup jomblo, mati pun jomblo. Mana Mbak Sun terus nolak cinta suci gue lagi, huft," monolog Poci.
"Aduh aduh Mas Poci, gimana gak nolak? Mbak Sun itu makannya banyak karena gak pernah kenyang, dia butuh uang yang banyak pula. Karena itu, dia nyari pacar yang ber-uang. Makanya Mas Poci kayak Tutu dong banyak duit," sambar Tutu yang entah datang darimana.
"Tapi kan gue cinta sama dia, menerima dia apa adanya, menjaganya semampu dan sebisaku walau kutahu raganya tak utuh," jelas Poci.
"Malah nyanyi, dikira cinta aja bikin Mbak Sun kenyang? Udah ya, saran Tutu sih Mas Poci cari demit idaman lain atau ya Mas Poci cari duit. Sekarang Tutu mau ngitung duit dulu." Tutu pergi meninggalkan Poci yang termenung memikirkan perkataannya.
Poci berpikir kelanjutan nasib cintanya. Kalau dia tetap dengan Mbak Sun bisa-bisa dia jungkir balik cari duit buat beliin Mbak Sun makanan. Akan tetapi, melupakan cinta pertama itu sangat sulit. Aduh-aduh, kepala Poci makin pusing.
"Woi Poci! Ngapa lu? Galau? Daripada galau mulu mending jawab tebakan gue." Ruwo yang baru pulang dari warnet berhenti di dekat Poci.
"Apaan, Mas?" tanya Poci.
"Kenapa air gak bisa naik?" Poci hanya menggelengkan kepala. Jujur saja dia malas menjawab.
"Karena ... yang bisa naik itu minyak hahaha."
Krik krik krik krik. Poci hanya diam melihat Ruwo yang tertawa terbahak-bahak. Maaf saja, dia tidak tahu lucunya di mana. Menurutnya itu malah menyedihkan. Tawa Ruwo mereda ketika melihat wajah datar Poci. Dia heran mengapa Poci tidak tertawa padahal itu sangat lucu. Yah, baginya.
"Ngapain sih galau gak jelas, mending nih buka fb lihat jokes bapak-bapak," ucap Ruwo sembari menunjukkan laman facebook di ponselnya.
"Gue gak tertarik, Mas Ruwo. Gue tuh lagi galau mikirin nasib gue yang dari hidup sampai udah mati gini kok ya tetap jomblo," curhat Poci.
"Dahlah kaga usah galau lu, mending kita balik. Pasti Nek Gay udah masak, haduh jadi lapar kebayang singkong bakar. Yok balik!" ajak Ruwo.
Pada akhirnya Poci memutuskan pulang. Dia juga sudah merasa lapar karena terlalu lama melamun. Hah, ternyata bengong pun butuh tenaga. Poci berdiri dari tempat duduknya. Baru saja satu lompatan, Poci mendengar suara benda jatuh. Ia pun berhenti dan menoleh ke belakang. Terlihat sesuatu tergeletak di tanah.
"Eh, Mas Ruwo!" panggil Poci.
"Apaan?" tanya Ruwo tanpa menoleh. Ayolah! Dia sudah tidak sabar makan singkong bakar.
"Tuh lihat, apaan tuh di tanah? Jangan-jangan ... MANUSIA?!" ucap Poci terkejut.
Mendengar itu, Ruwo langsung menghampiri sesuatu itu. Diikuti Poci yang melompat-lompat di belakangnya. Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat sesosok perempuan yang tertidur pulas di tanah, atau mungkin dia pingsan? Rambutnya panjang sepinggang dengan baju daster panjang berwarna putih.
"Penghuni baru gak sih, Ci?" tanya Ruwo.
"Mana saya tahu, saya kan juga nanya tadi," ucap Poci dengan polosnya.
"Bawa ke rumah aja kayaknya, kasihan kalau dibiarin di sini."
"Ya udah, ayo!" Poci lompat-lompat duluan menuju rumah.
"Kurang asem, main tinggal aja lu bocah! Bantuin angkat napa?!" gerutu Ruwo. Poci hanya geleng-geleng kepala.
"Mas Ruwo lupa apa gimana? Tanganku aja kebungkus, gimana mau bantuin?"
Ruwo baru ingat kalau tangan Poci kebungkus. Dia pun mengangkat perempuan itu dengan susah payah, sedangkan Poci hanya melihat dan memerintah. Akhirnya mereka pulang dengan Poci yang bernyanyi ria, Ruwo yang bercapek ria, dan si perempuan yang bertidur ria. Kasihan Ruwo.
Bersambung