Sampai di rumah, Ruwo langsung melempar eh ... meletakkan perempuan tadi di atas tikar. Ia meregangkan badannya yang kaku-kaku. Poci juga duduk bersandar pada tembok dan meluruskan kakinya yang pegal. Kalian bayangkan saja, melompat dari tempat tadi sampai rumah yang jaraknya 2 km. Sudah pasti kalian tidak akan kuat, biar Poci saja.
Tutu keluar dari kamar dengan sekantung uang receh. Ia berhenti sejenak melihat ke arah perempuan tak dikenal tadi. Spontan ia meletakkan uang recehnya begitu saja dan berteriak memanggil Nenek Gay dan Kakek Cang.
"Heboh bener," ucap Poci yang merasa terganggu dengan teriakan Tutu.
"Gimana gak heboh, Mas Poci udah bawa pengganti Mbak Sun," jawab Tutu heboh.
"Sembarangan! Nemu di jalan ini tadi." Poci tak terima dengan ucapan Tutu. Boro-boro dapat pengganti, move on aja belum. Cinta pertama tak semudah itu dilupakan, Kawan!
"Apanya yang nemu?" tanya Kakek Cang yang baru mencangkul ladang. Tak lama kemudian Nenek Gay juga datang dari dapur.
"Oh itu, Kek, Nek, tadi Poci sama Mas Ruwo nemuin dia rebahan di jalan," ucap Poci sembari menunjuk si perempuan. Ruwo hanya mengiyakan dengan anggukan, dia sedang fokus dengan singkong bakar yang asapnya masih mengepul.
Hening melanda, tak ada satupun yang mengeluarkan suara kecuali Ruwo yang asik mengunyah singkong bakar. Mereka menunggu si perempuan bangun dari tidurnya untuk diinterogasi. Mereka harus tahu apakah perempuan itu masih hidup atau sudah mati. Kalau sudah mati baru mereka bisa menerimanya tinggal di rumah.
Lama menunggu, perempuan itu tak kunjung sadar. Poci sudah menguap karena merasa mengantuk. Tutu bahkan sudah tidur dengan bantal sekantong uang recehnya. Ruwo juga sudah tidur karena kekenyangan. Hanya Nenek Gay dan Kakek Cang yang masih asik main catur.
"Lah, Nek, kuda mah jalannya L, mana bisa nyerong gini?" protes Kakek Cang ketika Nenek Gay salah cara mainnya.
"Ya bisa lah," jawab Nenek Gay dengan mudahnya.
"Eh mana bisa ...."
"Apa?! Mau protes?! Ndak tak kasih makan kamu nanti." Oke, perempuan harus selalu benar.
"Tapi kan ...." Ucapan Kakek Cang terpotong karena mendengar suara dari si perempuan.
Mata Poci, Tutu, dan Ruwo seketika terbuka lebar. Kakek Cang dan Nenek Gay juga menghentikan permainan catur mereka. Semua demit langsung memandang perempuan itu. Dia terlihat memegang kepalanya seraya mengerjapkan mata, menyesuaikan dengan cahaya. Para demit masih diam menunggu perempuan itu sadar sepenuhnya.
"Akhirnya sadar juga, Mbak. Tutu sampai capek nungguin," ucap Tutu ketika mata perempuan itu terbuka sepenuhnya.
Bukannya terkagum melihat hal yang belum pernah dia lihat, perempuan itu malah beringsut ketakutan. Ia melihat para dedemit dengan was-was. Dia khawatir hal-hal seram yang terbayang di otaknya akan terjadi. Bagian terseram yang dia takutkan adalah para demit itu akan memakannya.
"Eh, kenapa mundur-mundur? Gak usah takut sama kita, kita gak gigit kok," ucap Kakek Cang.
"Iya nih, masa Tutu yang lucu kayak gini juga ditakutin ...." Tutu mencoba memegang tangan perempuan itu, tapi perempuan itu malah berteriak histeris. Para demit sontak menutup telinga, kecuali Poci yang gak bisa tutup telinga. Maklum, tangannya ndelik alias sembunyi.
Poci mencoba mendekat untuk menenangkan si perempuan. Baru satu lompatan, perempuan itu berteriak lagi. Nenek Gay memukul pelan telinganya yang terasa berdenging. Suara jangkrik pun kalah nyaring dengan suara perempuan itu.
"Aduh Gusti ... ini kok malah teriak, mana suaranya cempreng," gerutu Nenek Gay.
"Gimana gak teriak? Saya ketemu makhluk alam lain ya kaget lah," ucap perempuan itu bergidik ngeri.
Para demit saling bertatapan, merasa bingung dengan perempuan itu. Bukankah perempuan itu sama dengan mereka alias juga demit? Kalau tidak, bagaimana bisa perempuan itu masuk dunia ini? Apa dia demit hilang ingatan yang lupa daratan? Atau jangan-jangan ....
"Situ belum mati?"
Bersambung
Siapakah perempuan itu? Apa dia demit hilang ingatan yang nyasar dan tak tahu arah jalan pulang ... aku tanpamu butiran pasir hahaha (emot ngakak sampai nangis).