Kakak perempuanku sedang koma.
Tidak ada yang tahu apa yang terjadi padanya. Tiba-tiba saja, pada suatu pagi, dia tidak bangun dari tidur, tapi tidak mati. Ayah dan ibuku membawanya ke rumah sakit, berbagai cara dicoba. Akan tetapi sampai enam bulan kemudian, tak ada perubahan. Dokter sendiri tidak tahu persis apa penyebabnya. Akhirnya, Lily dibawa pulang berikut semua peralatan dari rumah sakit. Mom mengundurkan diri dari pekerjaan untuk mengurus Lily. Aku tidak perlu diurus karena aku sehat-sehat saja. Selama enam bulan Lily terbaring seperti mayat hidup, semua orang seolah tidak ingat bahwa aku ada.
Hanya ada dua orang di rumah ini yang peduli padaku. Yang pertama tentu saja Harry. Dia guru home schooling-ku. Karena Mom khawatir dia akan kerepotan mengantarjemput, mereka berdiskusi dan aku ditarik dari sekolah. Siapa yang peduli? Aku memang membenci neraka itu. Teman-teman sekelasku brengsek. Yang laki-laki selalu berusaha menjatuhkan yang lain di sekitarku supaya mereka bisa pura-pura tak sengaja menyentuh payudara atau bokongku, yang perempuan hanya membicarakan pemain football.
Siapa orang kedua yang masih selalu ingat bahwa aku ada? Apakah Dad? Tentu saja tidak. Dad banting tulang karena sebagian obat dan peralatan untuk menunjang hidup Lily tidak tercover asuransi, sementara Mom harus tinggal di rumah. Dad mengambil semua proyek yang ditawarkan kepadanya di universitas. Dia seorang dosen biologi. Orang kedua itu adalah Taylor, pacar Lily.
Taylor tinggal tak jauh dari rumahku. Lily dan Tay sudah berteman sejak SD, tapi mereka baru berpacaran sejak musim panas tahun lalu. Aku melihat mereka berciuman di dekat danau dan entah mengapa hatiku terasa sakit. Lily adalah kakak yang sangat keren. Aku mencintainya. Dia selalu ada untukku. Sebelum mereka berkencan, selalu ada tempat untukku di tengah. Setelahnya, aku kembali disisihkan persis seperti posisiku di keluarga ini, posisiku di sekolah, atau di mana saja. Aku duduk di pinggir saat kami menonton series bersama supaya mereka bisa berciuman.
"Mom... aku pulang!" kataku pelan. Aku baru kembali dari perpustakaan daerah bersama Harry. Dia langsung pulang setelah mengantarku.
Namaku Mathilda, omong-omong, tapi mungkin kau juga tak peduli. Usiaku hampir tujuh belas tahun. Lily akan berulang tahun ke-20 bulan depan. Aku menengok kamarnya sebelum naik, Mom tak ada di sana. Saat aku melewati dapur, kulihat Tay sedang memakan sesuatu dari mangkuk. Dia mengangguk padaku sambil menunjukkan apa yang dimakannya, sereal, atau entah apa. "Ibumu sedang ke supermarket—"
"Yeah," kataku sambil berlalu ke kamar.
Aku melucuti pakaianku dan tinggal mengenakan kaus kecil dan celana dalam saja. Aku ingin istirahat. Harry memberiku banyak informasi yang membuatku lelah. Saat aku sedang membuka kaus, tiba-tiba pintu kamarku dibuka.
"Ooops... sorry!" seru Tay sambil menutup pintunya kembali.
Demi Tuhan... orang-orang di rumah ini benar-benar sinting. Sampai-sampai tamu pun tidak punya rasa hormat padaku. "Masuk," kataku setelah aku melompat ke kasur dan menutupi kakiku dengan selimut.
"Sorry... kau tadi langsung pergi, aku tidak sempat menyampaikan pesan. Ada makanan di kulkas, kau bisa menghangatkannya di mocrowave."
"Yeah... nanti saja. Aku mau tidur siang."
"Kau sudah makan?" tanya Tay perhatian. "Kalau lelah, aku bisa membantumu menghangatkannya. Jangan sampai perutmu kosong, Tilly...."
"It's okay nanti saja... thanks...."
"Okay.... Kau baik-baik saja?"
"Yeaaah...," jawabku malas sambil memutar bola mata. "Enyahlah dari sini. Aku benar-benar butuh istirahat."
Taylor keluar dan kudengar langkah-langkahnya menuruni tangga.
Kusumpal telingaku dengan earphone, lalu aku berbaring tengkurap. Kedua kakiku menggantung di tepi ranjang. Dalam posisi seperti ini, dadaku terasa lebih baik. Napasku terembus berat. Kenapa rasanya masih sesakit dulu? Orang bilang, jangan khawatir, kau akan melupakan cinta pertamamu, Girl. Kenapa aku tidak segera melupakannya? Aku memang mencintai Lily, tapi diam-diam aku selalu memuja Tay. Melihatnya setiap hari mengurus kakakku dengan segenap perhatian begitu menyayat perasaanku.
Aku tertidur.
Entah berapa lama aku terlelap, tapi saat terbangun aku merasa ada sesuatu menggelitiki belahan bokongku. Aku menggeliat, apakah ini mimpi? Rasanya begitu nyaman dan menyenangkan. Mungkin ini mimpi panas pertamaku. Apakah gadis-gadis juga bermimpi panas seperti anak laki-laki? Mungkin saja....
Namun, lambat laun, semuanya terasa sangat nyata. Milikku benar-benar lembab dan terasa ada sentuhan benda kenyal menusuk-nusuk lembut area intimku. Aku terhenyak dari tidur dan menoleh ke belakang.
Di sana, seseorang sedang berlutut di kaki ranjangku dan rambut ikal indahnya yang berkilau kecokelatan ditempa sinar mentari sore menyembul di atas belahan pantatku.
"T—Taylor?" seruku panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sister's Boyfriend (TAYLOR AND TILLY)
RomanceBagaimana jika kakak perempuanmu sedang koma, tapi kekasihnya menyatakan cinta padamu?