3

10.7K 66 0
                                    

"Kau bohong," kataku.

Taylor mengecup telingaku. "Aku tidak bohong, Tilly..., apa kau pernah melihatku berbohong?"

"Tay... lepaskan... Kalau Mom melihat kita...."

"Ibumu baru akan kembali nanti malam. Dia kelihatan sangat lelah, aku mengajukan diri menjaga kalian berdua supaya dia bisa melepas penat sebentar di Walmart. Tilly... Kalau kau tidak melawan, aku akan membalik tubuhmu supaya kita bisa bicara."

"Okay."

"Kau janji?"

"Aku janji."

Tay mengangkat tubuhnya dariku. Dia melakukannya dengan perlahan. Walau terlihat agak kurus, tapi dia memiliki struktur tulang yang kuat. Tay juga berlatih taekwondo sejak kecil, jadi memiting atau menaklukkanku bisa dilakukannya dengan hanya sebelah tangan. Meski begitu, aku tidak ingin dia menyentuhku. Begitu tubuhku terbebas, aku mencoba bergerak gesit turun dari ranjang. Tay hanya mendesah, dia merenggut pinggangku dengan mudah dan membantingku duduk tanpa kesulitan.

Dia menarik paksa tubuhku lekat ke dadanya dan membawaku bersamanya rapat ke dinding. Di sana, Taylor memiting pahaku dengan kaki-kaki panjangnya. Dia menaruh kakinya di depan selangkanganku, pahanya menimpa paha pendekku, lalu tungkainya mengunci dari bagian dalam pahaku. Dengan telapak kakinya, dia menekan telapak kakiku dan menarik kakiku berlawanan arah sehingga aku mengangkang lebih lebar. Kedua lenganku yang bebas dicengkeramnya erat. Kaus kecilku tertarik ke belakang karena ulahnya.

Di depan cermin rias yang dipasang Dad di kaki tempat tidur, kulihat pantulanku dan Taylor sungguh erotis. Celana dalam kecilku yang basah hampir tak mampu menutup area pribadiku karena kakiku membuka lebar. Kausku mencetak jelas bentuk payudaraku yang bulat dan putingnya yang membesar. Pusar dan perutku ikut terlihat. Wajah tampan Taylor muncul di balik pundakku, matanya menatap tajam ke arah pantulan tatapku di cermin. Aku dan dia sama-sama terengah. Kepalaku agak mendongak karena lengan dan tubuhku tertarik ke arah Tay.

"Kau selalu melawan," katanya. "Lihat dirimu di cermin. Kau ingin kita berdua saling membenci?"

Aku hanya fokus pada napasku.

"Hm?"

Aku menggeleng.

"Aku akan menyentuhmu, Tilly," bisik Tay.

"Jangan, Tay...," pelasku.

"Kenapa?"

"Ingatlah Lily."

"Ya... Aku ingat. Aku selalu mengingatnya. Aku ingat pesan terakhirnya supaya menjagamu. Saat itu aku begitu marah, begitu terpukul. Dia memutuskan hubungan sepihak, aku tidak tahu ia hendak kemana. Ternyata...," Tay menjeda kalimatnya. "Apa menurutmu dia tahu apa yang akan menimpanya?"

"Aku tidak tahu, Tay... Tak ada yang tahu... Lepaskan aku, kumohon... sakit, Tay...."

"Mana yang sakit?"

"Kakiku... Lenganku... Emmmh... Semua...."

"Dadamu juga sakit?" tanyanya, fokus tatapannya beralih ke bagian tubuhku yang disebutkannya.

Aku berpaling sambil menggigit bibirku. Tay menggeram sangat pelan seraya melepaskan lenganku, tapi kini dia membelit perutku. Rahangku yang terbuang direngkuhnya hingga kini pipiku bersentuhan dengan wajahnya, setelah meneguk ludah, Tay bertanya, "Kau ingin aku membelainya? Dadamu?"

"Tidak!"

"Kau akan menyukainya, percayalah. Lily juga menyukainya...."

"Mhhh, tidak!" tolakku tegas. "Aku akan mengadu. Aku akan mengadu, aku bersumpah...."

"Kau tak akan mengadu. Tak ada yang mempercayaimu, Tilly.... Seperti biasa, kau hanya akan dianggap mencari perhatian. Ibu dan ayahmu sama-sama sibuk, mereka tak punya waktu untuk memusingkan aduanmu. Lagipula, bagaimana kau akan memberitahu mereka? Bahwa aku memakan bokongmu dan menjilati celana dalammu? Bagaimana aku bisa melakukannya? Oh... Kau sengaja tidak mengunci pintu saat bertukar baju dan tidur dengan celana dalam kecil sambil membuka kakimu sehingga pemandangan menggiurkan itu langsung terlihat saat pintu kamarmu kubuka...."

"Ini kamarku!" aku menyergah. "Kau seharusnya mengetuk!"

"Bagaimana kalau kubilang aku sudah melakukannya?"

Napasku tersengal. Aku berusaha meronta lagi gara-gara lengan Tay yang membelit perutku digesernya ke atas menekan payudaraku dan membuatnya tergencet.

"Nyeri?" tanyanya.

Aku diam saja mengetatkan rahangku.

"Aku ingin membuatmu lebih nyeri, Tilly....."

"Kau sudah gila, Tay...."

"Ya... aku pasti gila karena mau merawat gadis yang sudah mencampakkanku, tapi karena dia belum memberitahu siapapun sebelum ia koma, semua orang berpikir ini kewajibanku. Aku tak bisa mengelak dari tatapan memohon orang tuamu, aku tak bisa mengatakan yang sebenernya pada orang-orang di tempatku bekerja, atau bahkan pada ayah dan ibuku. Semua orang telanjur menganggapku pahlawan, mereka Akan mengutukiku kalau aku pergi. Aku tak bisa menjalin hubungan dengan siapapun, aku sudah tidak berhubungan seks selama enam bulan sejak Lily koma. Tilly... kau harus bertanggungjawab... Lily memutuskanku demi kau... Kalau tidak, saat ini aku masih kekasihnya dan semua ini tak akan memberatiku...."

"Tanggung jawab apa?"

"Tubuhmu... Aku ingin tubuhmu...."

"Kau gila... gila...."

"Aku akan membuatmu merasakan hal yang luar biasa Tilly... Kau akan menjadi dewasa di tanganku."

"Jangan! Ah!!!"

"Ahhhh...," Tay membeoku. Dengan seenaknya dia menangkup buah dadaku dan dia melakukannya dari dalam kausku yang membuatku menjerit dan mendesah tadi. Putingku terjepit jari-jari tangan Tay yang membungkus erat payudaraku tapi tak mampu menangkupnya sekaligus Karena ukurannya cukup besar. "Aaah... Ssssh... Ahhhh," desah Tay. Tanganku yang mencengkeram pergelangan tangannya tak berarti apa-apa. Tay meremas-remas, memutar payudaraku, dan memilin-milin putingku di celah jari-jarinya.

Aku mulai merasakan nikmat pijatan itu dan sensasi nyeri di putingku. Di bagian bawah, desakan batang kejantanan Tay yang membesar menggesek-gesek tulang punggungku.

"Kau pasti makin basah," kata Tay. "Kau harus berbalik, Tilly...."

"Kenapa?"

"Karena aku ingin mengulum putingmu dan melembutkannya...."

My Sister's Boyfriend (TAYLOR AND TILLY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang